Segala upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menekan transmisi virus di masyarakat. Mulai dari peliburan sekolah/universitas, pemberlakuan PSBB, hingga aturan wajib masker dan sanksi bagi para pelanggarnya telah dilakukan oleh pemerintah. Namun nampaknya usaha tersebut selalu menemui jalan buntu lantaran kasus harian Covid-19 nasional yang selalu mengalami lonjakan.
Berangkat dari kondisi serupa, Pemerintah Indonesia beserta negara-negara didunia berusaha untuk merealisasikan suplai vaksin Covid-19 di negaranya masing-masing. Meskipun pengembangannya masih belum sempurna, namun vaksin Covid-19 yang dipesan dari berbagai produsen di dunia tersebut saat ini dipercaya sebagai alat kesehatan terdepan dalam menangkal paparan Covid-19 ke dalam tubuh.
Tidak heran jika negara-negara di dunia saat ini berlomba-lomba untuk membeli vaksin yang tersedia meskipun dengan harga yang tidak murah akibat kondisi supply & demand yang tidak selaras.
Angka 426 juta dosis vaksin yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan Budi Gunardi Sadikin sebagai kebutuhan vaksin nasional bukanlah angka yang sedikit. Maka dari itu, adalah tugas pemerintah untuk memastikan ketersediaan vaksin bagi seluruh bangsa Indonesia demi mencapai herd immunity yang maksimal. Salah satu langkah sentral yang diambil oleh pemerintah adalah melalui upaya suplai vaksin nasional.
Upaya Suplai Vaksin
Diungkapkan oleh Erik Mangajaya, Direktorat Hukum dan Perjanjian Ekonomi Kementerian Luar Negeri RI, bahwa upaya suplai vaksin oleh Pemerintah Indonesia dilakukan melalui dua cara. Cara Pemerintah Indonesia yang dimaksud yaitu melalui upaya kerjasama bilateral dan multilateral.
Selain 2 jalur tersebut, sejatinya terdapat jalur-jalur lain yang bisa ditempuh guna mensukseskan target suplai vaksin nasional, salah satunya melalui impor vaksin oleh korporat atau swasta. Suplai vaksin oleh swasta ini nantinya akan didistribusikan melalui skema vaksinasi mandiri dengan restriksi dan pengawasan khusus dari kementerian terkait. Kendati demikian, dalam tulisan ini, penulis hanya akan berfokus pada suplai vaksin Covid-19 oleh Pemerintah Indonesia saja.
Upaya Bilateral
Dalam mekanisme bilateral, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri sudah mengupayakan kontak dengan negara-negara produsen vaksin seperti China, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat melalui pendekatan diplomatis antar Menteri Luar Negeri serta pendekatan antar-negara dengan Uni Emirat Arab melalui forum G24.
Dari kerjasama bilateral tersebut, Indonesia akhirnya memutuskan untuk menggunakan 6 vaksin dari 6 produsen yang berbeda. Diantaranya adalah Sinovac asal China, Sinopharm asal China, AstraZeneca asal Inggris, Novavax asal Amerika Serikat, Moderna asal Amerika Serikat, serta Pfizer hasil kerjasama antara produsen asal Jerman dan Amerika Serikat.
Dari produsen-produsen itu pula Indonesia telah mendapatkan komitmen untuk memenuhi kebutuhan vaksin nasional. Menurut Syamsul Ashar di laman kontan.co.id, diantaranya adalah Sinovac yang akan mendistribusikan sebanyak 125 juta dosis, AstraZeneca sebanyak 50 juta dosis, Novavax sebanyak 25 juta dosis, dan Pfizer sebanyak 50 juta dosis. Jadi, melalui kerjasama bilateral, Indonesia telah mengupayakan suplai sebanyak 250 juta dosis vaksin.
Kerjasama bilateral yang dibangun tidak hanya terbatas pada relasi transaksional saja dimana Indonesia sebagai konsumen dan negara tujuan kerjasama bertindak sebagai produsen. Namun, Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri juga berupaya untuk membuat industri kesehatan nasional menjadi mandiri di masa yang akan datang melalui upaya kerjasama bilateral.
Oleh karena itu, dalam klausul kerjasamanya, Kementerian Luar Negeri mendorong realisasi kerjasama alih teknologi atau transfer pengetahuan dari produsen vaksin dan peralatan pendukung di luar negeri ke industri kesehatan nasional. Setelah transfer pengetahuan yang dibahas dalam kerjasama tersebut rampung, pemerintah berharap industri kesehatan nasional dapat memproduksi vaksin dan alat pendukung lainnya sendiri sehingga kelak dapat menghentikan ketergantungan akan impor vaksin.
Upaya Multilateral
Dalam Konferensi Pers Kedatangan Vaksin Covid-19 di Media Center Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN) pada 7 Desember 2020 yang lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi memaparkan keistimewaan Indonesia sebagai satu diantara 92 negara COVAX Advance Market Commitment Engagement Group (COVAX-AMC EG). Sebagai salah satu anggota COVAX-AMC EG, Indonesia berpeluang untuk mendapatkan jatah vaksin gratis sebanyak 3%-20% dari total penduduk nasional.
Bahkan, berkat agresifitas kinerja upaya Indonesia, sebagaimana dikutip dari laman resmi KPCPEN, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi resmi dipercaya untuk menjadi Co-Chair COVAX-AMC EG. Berbekal posisi strategis yang dimiliki, pemerintah percaya bahwa Indonesia akan memiliki bargaining position yang lebih kuat untuk menekan COVAX-AMC EG dalam memberikan jatah vaksin penuh sebanyak 20% (batas maksimal vaksin per negara anggota) dari total populasi atau kurang lebih sekitar 108 juta dosis vaksin.
Maka dari itu, pemerintah melalui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengambil langkah cepat dengan mengajukan 108 juta dosis vaksin kepada GAVI-COVAX Facility pada 7 Januari 2021.
Harapannya adalah bahwa 108 dosis vaksin dari mekanisme multilateral tersebut dapat menjadi tambahan yang berarti terhadap 250 juta dosis vaksin yang sudah diperoleh melalui mekanisme bilateral. Kendati 358 juta dosis masih belum mencukupi kebutuhan vaksin nasional yakni 426 juta dosis, namun setidaknya ini menjadi sinyal baik bahwa upaya suplai vaksin nasional berada di jalur yang baik.
Tantangan Upaya Vaksin Indonesia
Sebagaimana yang terjadi di hampir semua sektor di Indonesia, sektor suplai juga menemui tantangan yang signifikan dalam upaya suplai jalur internasional, khususnya dalam proses suplai vaksin.
Salah satu tantangan terbesar yang dialami Pemerintah Indonesia dalam proses suplai vaksin tentunya adalah akses terhadap vaksin itu sendiri. Indonesia saat ini masih belum mampu memproduksi vaksinnya sendiri. Isu produksi vaksin Merah Putih oleh PT. Bio Farma memang sudah berhembus sejak pertengahan 2020 yang lalu. Tapi vaksin Merah Putih baru bisa digunakan secara masal paling cepat tahun 2022, sementara kebutuhan vaksin sudah sangat mendesak.
Poin menarik dalam salah satu proses upaya bilateral seperti yang disebutkan di atas adalah adanya klausul perjanjian bilateral yang mengisyaratkan tentang adanya alih teknologi atau transfer pengetahuan. Alih teknologi seperti ini tentunya sangat bermanfaat untuk mempercepat proses suplai vaksin produksi dalam negeri.
Tapi hingga kini, pernyataan detil mengenai rincian mulai dari teknologi apa saja yang akan dialihkan hingga seberapa lama transfer pengetahuan ini akan berlangsung belum juga tersedia. Menurut hemat penulis, alih teknologi akan dibahas ulang dengan rincian-rincian yang lebih jelas paska kebutuhan vaksin nasional telah dipenuhi. Sebab memang itu yang menjadi fokus pemerintah hingga saat ini.
Saran
Pekerjaan rumah yang harus segera diatasi oleh pemerintah adalah dengan melakukan pembagian tugas yang efektif. Pemerintah harus tetap melanjutkan upaya suplai vaksin yang saat ini sudah mulai terlihat keberhasilannya.
Sementara itu, pemerintah juga harus menekankan pada detail dari perjanjian alih teknologi yang sudah ada agar dapat segera diaplikasikan dalam proses produksi vaksin dalam negeri.
Di sisi yang lain, peran masyarakat dalam mensukseskan kampanye vaksinasi nasional juga tidak boleh terlewatkan. Karena garda terdepan dalam penanggulangan pandemi ini sejatinya bukanlah tenaga kesehatan, namun masyarakat secara umum. Tenaga kesehatan dalam bisa diibaratkan sebagai “penjaga gawang” di garda terakhir yang menjaga jantung pertahanan umat manusia.
Oleh karenanya, masyarakat sebagai garda terdepan dalam proses penanggulangan pandemi harus selalu waspada dengan selalu memakai masker, mencuci tangan, dan menjauhi kerumunan.
Tentunya, pembagian tugas bagi pemerintah dalam masa krisis seperti ini mungkin akan sedikit sulit. Namun dengan kapasitas jajaran Menteri yang ada saat ini, penulis yakin bahwa target 426 juta dosis vaksin yang ditetapkan akan segera didapatkan. Dengan jajaran menteri yang sama namun dengan tupoksi yang berbeda, penulis yakin bahwa alih teknologi yang dibutuhkan untuk mempercepat produksi vaksin Merah Putih dapat segera difinalisasi dan diterapkan.