Pengadaan swakelola merupakan salah satu metode dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (PBJP) yang memanfaatkan sumber daya dan kemampuan unit kerja secara internal maupun melalui kolaborasi dengan pihak ketiga. Khususnya untuk Swakelola Tipe III dan Swakelola Tipe IV, metode ini memberikan peluang bagi vendor, konsultan, dan UMKM untuk terlibat dalam pekerjaan pemerintah dengan mekanisme yang berbeda dibanding tender terbuka.
1. Definisi dan Klasifikasi Swakelola
Swakelola merupakan salah satu metode pelaksanaan pengadaan barang dan/atau jasa yang tidak dilakukan oleh penyedia, tetapi oleh pelaksana non-komersial, yang ditunjuk oleh pemerintah atau instansi terkait. Swakelola menjadi alternatif strategis ketika tujuan pengadaan tidak semata-mata untuk memperoleh barang atau jasa dengan harga terbaik, tetapi lebih menitikberatkan pada aspek pemberdayaan, distribusi ekonomi, pembangunan kapasitas masyarakat, atau misi sosial lainnya.
Swakelola dilakukan ketika:
- Tidak ada penyedia yang mampu memenuhi kebutuhan.
- Kegiatan bersifat strategis dan sensitif seperti pendampingan masyarakat, edukasi publik, atau peningkatan kapasitas lokal.
- Kegiatan memerlukan partisipasi aktif dari masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 dan perubahannya, Swakelola diklasifikasikan menjadi empat tipe berdasarkan siapa yang melaksanakan dan struktur organisasinya:
a. Swakelola Tipe I
Swakelola Tipe I dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah (K/L/PD) sendiri. Sumber daya manusianya berasal dari ASN di lingkungan instansi tersebut, dan tidak melibatkan pihak luar sebagai pelaksana. Cocok untuk kegiatan rutin internal atau program yang memerlukan kendali penuh oleh pemerintah.
b. Swakelola Tipe II
Swakelola ini dilaksanakan oleh K/L/PD, namun menggunakan tenaga ahli/lepas atau organisasi profesional yang bukan ASN untuk pelaksanaan kegiatan teknisnya. Tipe ini lazim digunakan untuk kegiatan yang memerlukan keahlian teknis tinggi, namun tidak tersedia sumber daya internal.
c. Swakelola Tipe III
Swakelola Tipe III dilaksanakan oleh kelompok masyarakat, koperasi, atau pelaku usaha mikro kecil yang tidak berbadan hukum. Pemerintah hanya berperan sebagai pembina dan pengawas. Kegiatan yang cocok untuk swakelola ini antara lain pembangunan infrastruktur kecil, pelatihan masyarakat, atau pengelolaan kegiatan sosial berbasis komunitas.
d. Swakelola Tipe IV
Swakelola Tipe IV dilakukan oleh organisasi masyarakat berbadan hukum seperti koperasi, BUMDes, BUMDesma, dan badan usaha milik organisasi masyarakat lainnya. Pelaksana memiliki struktur legal yang lebih formal daripada Tipe III, dan biasanya sudah memiliki pengalaman dalam menjalankan kegiatan layanan publik atau sosial ekonomi.
Catatan: Vendor atau mitra swakelola dalam Tipe III dan IV tidak diseleksi melalui tender, namun melalui proses penilaian kelayakan dan kesesuaian oleh PPK berdasarkan persyaratan administratif dan teknis.
2. Perbedaan Swakelola Tipe I-IV
Memahami perbedaan mendasar antara keempat tipe swakelola sangat penting bagi vendor atau kelompok masyarakat yang ingin terlibat dalam Swakelola Tipe III dan IV. Setiap tipe memiliki karakteristik pelaksana, struktur legal, tingkat kompleksitas pekerjaan, nilai anggaran, dan prosedur persetujuan yang berbeda.
Aspek | Swakelola Tipe I | Swakelola Tipe II | Swakelola Tipe III | Swakelola Tipe IV |
---|---|---|---|---|
Pelaksana | ASN di K/L/PD | Profesional eksternal/tenaga ahli | Kelompok masyarakat, UMKM lokal | Koperasi/BUMDes berbadan hukum |
Legalitas | Tidak membutuhkan badan hukum | Tidak membutuhkan badan hukum | Tidak membutuhkan badan hukum | Wajib berbadan hukum |
Kompleksitas Pekerjaan | Tinggi | Sedang hingga tinggi | Rendah hingga sedang, berbasis pemberdayaan | Rendah hingga sedang, formal dan terstruktur |
Besaran Anggaran | Bisa sangat besar, > Rp10 miliar | Antara Rp200 juta hingga Rp10 miliar | Maksimum Rp200 juta | Maksimum Rp200 juta (tergantung ketentuan sektoral) |
Persetujuan | Kepala Unit Kerja | Kepala Unit Kerja + LKPP jika lintas instansi | PPK, Kepala Daerah, dan/atau LKPP jika diperlukan | PPK, Kepala Daerah, + verifikasi legal dan pengalaman |
Contoh Kegiatan | Audit internal, pelatihan ASN | Kajian strategis, survei teknis | Bangun posyandu, pelatihan keterampilan desa | Pengelolaan air desa, pengolahan hasil pertanian lokal |
Kesimpulan: Vendor atau koperasi yang ingin ikut serta dalam Swakelola Tipe III dan IV harus memahami apakah kegiatan yang ditawarkan termasuk kategori pemberdayaan dan memiliki kapasitas sumber daya sesuai, bukan semata mencari keuntungan komersial.
3. Dasar Hukum dan Regulasi Swakelola
Pelaksanaan swakelola, termasuk keterlibatan vendor dalam Tipe III dan IV, diatur dengan kerangka hukum dan regulasi yang jelas agar tidak menyimpang dari prinsip transparansi, efisiensi, akuntabilitas, dan kepatuhan hukum.
Beberapa dasar hukum dan regulasi penting yang harus dipahami oleh vendor antara lain:
a. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 (dan perubahannya pada Perpres No. 12 Tahun 2021)
Merupakan dasar hukum utama pengadaan barang/jasa pemerintah, termasuk metode swakelola. Dalam dokumen ini dijelaskan secara rinci jenis, prinsip, hingga metode pemilihan pelaksana swakelola.
b. Peraturan LKPP
LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) mengeluarkan berbagai pedoman teknis dan standar operasional, termasuk:
- Pedoman Teknis Pelaksanaan Swakelola
- Template dokumen Swakelola (Form RAB, Form Penilaian Kelompok Masyarakat)
- SOP penilaian kelayakan koperasi dan UMKM pelaksana
Vendor yang ingin mengikuti pengadaan melalui Swakelola Tipe III atau IV harus mengacu pada dokumen teknis ini untuk memastikan bahwa semua dokumen administrasi, format pelaporan, dan sistem pertanggungjawaban keuangan sesuai standar.
c. Buku Pedoman PBJP dan POS Instansi
Masing-masing instansi biasanya memiliki Prosedur Operasional Standar (POS) atau manual internal yang menjadi pedoman teknis dalam merancang kegiatan swakelola, termasuk:
- Standar teknis kegiatan
- Format laporan harian dan pertanggungjawaban
- Mekanisme pencairan dana dan serah terima hasil
Vendor perlu mempelajari POS ini dengan baik agar dapat berperan secara aktif dan benar sesuai ekspektasi instansi pelaksana.
d. Peraturan Daerah atau Surat Edaran Kepala Daerah
Beberapa pemerintah daerah menerbitkan aturan pelaksana spesifik yang menyesuaikan kebutuhan lokal. Misalnya, prioritas terhadap BUMDes, ketentuan honor pelaksana masyarakat, atau penyesuaian batas nilai kegiatan swakelola. Vendor lokal perlu memahami dan mengikuti regulasi daerah tersebut agar bisa berpartisipasi.
4. Kriteria dan Syarat Keterlibatan Vendor
Keterlibatan dalam pengadaan melalui Swakelola Tipe III dan IV bukanlah hal yang otomatis diberikan kepada siapa saja. Meskipun tidak melalui proses tender, pelaksanaan tetap harus memenuhi prinsip efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas. Oleh karena itu, kelompok masyarakat maupun koperasi/badan usaha milik masyarakat yang ingin terlibat harus memenuhi sejumlah kriteria administratif, teknis, dan legal.
4.1 Untuk Tipe III (Kelompok Masyarakat/UMK)
Swakelola Tipe III diarahkan kepada kelompok masyarakat atau usaha mikro kecil (UMK) yang belum berbadan hukum. Namun, bukan berarti tanpa persyaratan. Kelompok pelaksana harus memiliki struktur informal yang jelas dan didukung oleh legitimasi sosial di wilayahnya. Adapun syarat-syarat utamanya meliputi:
- Status dan Identitas Kelompok
- Terdaftar di pemerintah desa/kelurahan atau lembaga pemberdayaan masyarakat (LPM).
- Memiliki struktur organisasi yang fungsional (ketua, bendahara, pelaksana lapangan).
- Telah beraktivitas nyata dan dikenal di masyarakat setempat.
- Rekam Jejak dan Pengalaman
- Memiliki pengalaman kerja atau kegiatan serupa minimal 1-2 tahun, seperti membangun fasilitas desa, mengelola pelatihan, atau proyek padat karya.
- Pengalaman ini dapat dibuktikan melalui laporan kegiatan, dokumentasi foto, testimoni kepala desa, atau rekomendasi instansi sebelumnya.
- Persyaratan Anggaran
- Nilai kegiatan swakelola yang dapat dilaksanakan maksimal Rp200 juta, sesuai batas atas swakelola Tipe III.
- Kelompok harus mampu menyusun rencana kerja dan estimasi anggaran biaya (RAB) dengan bimbingan dari PPK atau fasilitator pengadaan.
- Legal dan Etik
- Tidak sedang masuk daftar hitam pengadaan pemerintah.
- Tidak sedang dalam status bermasalah hukum atau administrasi yang dapat mempengaruhi kredibilitas pelaksanaan proyek.
4.2 Untuk Tipe IV (Koperasi/BUMDes berbadan hukum)
Swakelola Tipe IV melibatkan organisasi masyarakat yang telah berbadan hukum, seperti koperasi, BUMDes (Badan Usaha Milik Desa), atau BUMDes Bersama (BUMDesma). Kriteria untuk entitas ini lebih ketat, karena posisinya lebih formal dan tanggung jawab keuangannya lebih besar. Berikut adalah kriteria yang harus dipenuhi:
- Legalitas Badan Hukum
- Harus terdaftar resmi di Kementerian Hukum dan HAM (untuk koperasi) atau diatur oleh Peraturan Desa/Kepala Daerah (untuk BUMDes).
- Memiliki dokumen legal lengkap: Akta pendirian, SK pengesahan badan hukum, dan peraturan internal.
- Dokumen Administratif Standar
- Memiliki NPWP, NIB (Nomor Induk Berusaha), dan SIUP atau izin usaha sejenis yang sesuai dengan sektor kegiatan.
- Mengelola rekening bank atas nama koperasi/BUMDes yang aktif dan bisa digunakan untuk transaksi proyek.
- Rekam Jejak Keuangan dan Operasional
- Menunjukkan laporan keuangan 2 tahun terakhir, baik dalam bentuk sederhana maupun yang diaudit.
- Laporan ini mencerminkan kapasitas manajerial dan kemampuan mengelola dana publik.
- Kapasitas Teknis dan SDM
- Memiliki personil atau tenaga kerja tetap yang memahami kegiatan yang akan dilaksanakan (misal, petugas pengelola air bersih, pelatih keterampilan, teknisi konstruksi ringan, dll.).
- Menunjukkan bukti kerja sama sebelumnya dengan instansi atau pelaksanaan proyek komunitas.
Vendor atau kelompok yang memenuhi seluruh kriteria di atas dapat diajukan oleh PPK atau pejabat pengadaan untuk ditetapkan sebagai pelaksana Swakelola Tipe III atau IV. Validasi dokumen dan kredibilitas organisasi menjadi pertimbangan utama dalam proses persetujuan.
5. Proses Pengajuan dan Persetujuan Swakelola
Meskipun tidak menggunakan sistem tender atau e-purchasing seperti LPSE, proses penunjukan pelaksana dalam swakelola tetap melalui tahapan administratif yang ketat dan terstruktur. Proses ini bertujuan memastikan bahwa kegiatan berjalan sesuai prinsip good governance dan memberikan manfaat nyata kepada masyarakat.
5.1 Inisiasi oleh PPK atau Pejabat Pengadaan
Segala kegiatan swakelola, baik Tipe III maupun IV, dimulai dari inisiatif internal instansi. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau pejabat pengadaan mengidentifikasi kegiatan yang lebih tepat dilaksanakan dengan swakelola daripada melalui penyedia (vendor). Biasanya ini menyangkut program pemberdayaan masyarakat, proyek berbasis komunitas, atau layanan sosial.
Langkah pertama adalah menyusun Usulan Pelaksanaan Swakelola (UPS), dokumen yang memuat:
- Justifikasi pemilihan metode swakelola
- Rencana kegiatan (lingkup kerja, tujuan, lokasi)
- Rincian Anggaran Biaya (RAB)
- Penjadwalan kegiatan
- Rencana monitoring dan pelaporan
UPS kemudian diinput ke dalam Sistem Rencana Umum Pengadaan (SIRUP) sebagai bagian dari transparansi dan keterbukaan informasi.
5.2 Penetapan Metode Swakelola
PPK, setelah melakukan analisis, menetapkan metode swakelola yang akan digunakan, apakah Tipe III atau IV. Penetapan ini mempertimbangkan:
- Profil dan kapasitas kelompok masyarakat yang tersedia
- Tujuan kegiatan (pemberdayaan, efisiensi, partisipasi)
- Legalitas dan kesiapan administrasi pelaksana
- Nilai dan kompleksitas proyek
Jika proyek melibatkan kelompok masyarakat yang belum berbadan hukum dan tidak memerlukan keterampilan teknis tinggi, maka akan ditetapkan sebagai Tipe III. Namun jika terdapat koperasi atau BUMDes yang telah siap secara legal dan administratif, maka Tipe IV dapat digunakan.
5.3 Pengumuman dan Sosialisasi Internal
Setelah UPS disetujui dan metode ditetapkan, instansi akan melakukan sosialisasi internal, baik kepada kelompok masyarakat, koperasi, atau perangkat desa yang akan terlibat. Sosialisasi ini meliputi:
- Tujuan kegiatan
- Mekanisme pelaksanaan dan pertanggungjawaban
- Batas waktu dan output yang diharapkan
- Hak dan kewajiban pelaksana
Untuk Tipe III, instansi dapat membuka pendaftaran terbuka bagi kelompok masyarakat yang ingin berpartisipasi, terutama di daerah yang memiliki beberapa komunitas potensial.
5.4 Seleksi dan Verifikasi
Selanjutnya, tim dari instansi akan melakukan proses seleksi dan verifikasi terhadap calon pelaksana. Proses ini bisa dilakukan dengan kombinasi:
- Pemeriksaan dokumen: legalitas, pengalaman, struktur organisasi
- Wawancara atau klarifikasi langsung
- Survei lapangan ke lokasi sekretariat atau tempat kegiatan calon pelaksana
- Pemeriksaan riwayat kegiatan sebelumnya, termasuk evaluasi dari kegiatan serupa
Hasil verifikasi dituangkan dalam berita acara, dan menjadi dasar bagi penetapan pelaksana.
5.5 Penetapan Pelaksana dan Penandatanganan Kontrak
Setelah verifikasi selesai, PPK akan menyusun dan menerbitkan:
- Surat Keputusan (SK) Penetapan Pelaksana Swakelola
- Surat Perjanjian Pelaksanaan Swakelola, yang memuat:
- Lingkup kerja
- Jadwal pelaksanaan
- Nilai proyek
- Mekanisme pembayaran
- Ketentuan pelaporan dan serah terima
Pelaksana yang telah ditetapkan wajib menandatangani kontrak tersebut dan melaksanakan kegiatan sesuai kesepakatan. Dalam banyak kasus, kontrak juga mengatur pencairan dana bertahap berdasarkan progres fisik dan laporan pelaksanaan.
6. Dokumen dan Persyaratan Administratif
Agar bisa ditetapkan secara resmi sebagai pelaksana swakelola Tipe III maupun Tipe IV, kelompok masyarakat maupun koperasi/BUMDes harus memenuhi persyaratan administratif tertentu yang berfungsi sebagai bukti legalitas, kesanggupan teknis, dan kelayakan manajerial. Kelengkapan dokumen ini menjadi syarat mutlak sebelum kontrak kerja dapat diteken.
6.1 Untuk Swakelola Tipe III (Kelompok Masyarakat atau UMK)
Dokumen yang dibutuhkan relatif lebih sederhana, karena pelaksana biasanya bukan entitas berbadan hukum. Namun demikian, struktur dasar dan informasi kelompok harus jelas agar akuntabilitas bisa dipertanggungjawabkan. Dokumen minimal yang wajib disiapkan antara lain:
- Surat Permohonan Pelaksanaan Swakelola
Ditujukan kepada PPK, menyatakan kesiapan kelompok untuk melaksanakan kegiatan swakelola yang ditugaskan. Ditandatangani oleh ketua kelompok. - Surat Keputusan (SK) Pengurus Kelompok
Jika ada struktur organisasi, SK ini menjelaskan siapa saja yang bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan (ketua, bendahara, pelaksana lapangan). SK dapat diterbitkan oleh desa/kelurahan atau disahkan melalui musyawarah kelompok. - Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Jadwal Pelaksanaan
Disusun dengan format sederhana yang mencakup perincian kebutuhan bahan/material, honor tenaga kerja, biaya transportasi, serta estimasi waktu pelaksanaan. RAB ini harus sesuai dengan harga pasar setempat dan hasil survei lapangan. - Daftar Anggota Kelompok
Berisi nama, alamat, dan nomor KTP seluruh anggota yang akan terlibat. Ini penting untuk menunjukkan bahwa kegiatan benar-benar melibatkan masyarakat setempat.
6.2 Untuk Swakelola Tipe IV (Koperasi/BUMDes/BUMDesma)
Karena pelaksana sudah berbadan hukum, maka dokumen yang harus disiapkan lebih kompleks dan mendekati standar administrasi pengadaan pada umumnya. Berikut dokumen tambahannya:
- Akta Pendirian dan Perubahan Terakhir
Diterbitkan oleh notaris dan disahkan oleh Kemenkumham. Akta ini menunjukkan legalitas entitas pelaksana dan struktur hukum yang menaunginya. - NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), NIB (Nomor Induk Berusaha), dan SIUP/Izin Usaha
Dokumen ini menunjukkan legalitas usaha koperasi atau BUMDes di mata hukum dan otoritas fiskal. - Laporan Keuangan Audited atau Minimal Disusun Mandiri 2 Tahun Terakhir
Laporan ini menggambarkan kemampuan koperasi/BUMDes dalam mengelola dana secara profesional, menjadi bahan pertimbangan PPK dalam penunjukan pelaksana. - Struktur Organisasi dan CV Pengurus Utama
CV ketua koperasi, bendahara, dan penanggung jawab teknis harus disusun ringkas dan menunjukkan pengalaman/kualifikasi yang relevan.
Semua dokumen tersebut harus disusun dalam format folder rapi, diberi nomor halaman, diberi daftar isi, distempel resmi, dan ditandatangani oleh pengurus atau pejabat yang berwenang di organisasi pelaksana.
7. Langkah-Langkah Teknis Pelaksanaan
Setelah kontrak swakelola ditandatangani, pelaksana wajib menjalankan seluruh kegiatan sesuai dengan lingkup kerja, jadwal, dan anggaran yang telah disepakati. Proses pelaksanaan ini harus dilakukan secara tertib administrasi dan dapat dipantau oleh instansi pemberi tugas.
7.1 Rapat Kick-Off
Rapat ini menandai dimulainya pelaksanaan kegiatan. Pihak yang terlibat biasanya meliputi:
- Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
- Tim teknis pengawasan dari dinas/instansi
- Tim pelaksana swakelola (ketua kelompok, koordinator lapangan, bendahara)
Agenda rapat mencakup pemahaman lingkup kerja, penjelasan alur pelaporan, tata cara pencairan dana, serta pembagian peran dan tanggung jawab.
7.2 Mobilisasi Sumber Daya
Setelah kick-off, pelaksana mulai melakukan mobilisasi personil dan material, yang mencakup:
- Rekrutmen tenaga kerja lokal (jika diperlukan)
- Pengadaan bahan/material dari toko atau supplier lokal
- Penyediaan alat kerja (manual atau mesin ringan)
- Penyiapan tempat pelaksanaan atau gudang penyimpanan logistik
Dalam tahap ini, transparansi penggunaan dana dan pencatatan keluar-masuk barang sangat penting untuk kebutuhan laporan pertanggungjawaban akhir.
7.3 Pelaksanaan Pekerjaan
Pelaksana wajib melaksanakan pekerjaan berdasarkan jadwal dan spesifikasi teknis yang tercantum dalam RAB. Aktivitas ini dapat berlangsung selama 7 hari hingga beberapa bulan, tergantung skala kegiatan.
Contoh pekerjaan yang biasa dilaksanakan melalui swakelola Tipe III/IV:
- Perbaikan saluran air lingkungan
- Pelatihan keterampilan wirausaha
- Rehabilitasi sarana desa (balai, posyandu)
- Kegiatan edukasi dan penyuluhan
7.4 Monitoring dan Evaluasi
Monitoring dilakukan oleh tim pengawas yang ditunjuk oleh instansi pengadaan, yang bertugas memantau:
- Kesesuaian pelaksanaan terhadap jadwal dan anggaran
- Efektivitas pemanfaatan sumber daya
- Kendala di lapangan dan usulan solusi
Monitoring bisa dilakukan secara mingguan atau dua mingguan, dan dituangkan dalam format laporan perkembangan fisik dan keuangan.
7.5 Laporan dan Serah Terima
Setelah pekerjaan selesai, pelaksana harus menyusun dan menyerahkan laporan akhir, yang meliputi:
- Laporan teknis pelaksanaan
- Rekap penggunaan dana
- Bukti-bukti fisik: foto kegiatan, kwitansi, daftar hadir
- Berita Acara Serah Terima (BAST) pekerjaan
PPK akan memverifikasi laporan tersebut dan melakukan kunjungan lapangan terakhir sebelum menyatakan pekerjaan selesai 100%.
8. Manajemen Kontrak dan Pembayaran
Manajemen kontrak adalah kunci sukses dalam pelaksanaan swakelola. Meski kontraknya sederhana, semua aturan pembayaran dan pertanggungjawaban harus dijalankan dengan rapi dan akuntabel.
8.1 Skema Pembayaran Bertahap
Untuk kegiatan dengan durasi lebih dari satu bulan, pembayaran dapat dilakukan dalam beberapa tahap berdasarkan capaian pekerjaan. Contoh skema umum:
- Tahap 1 – 30%: Setelah mobilisasi dan 30% progres pekerjaan.
- Tahap 2 – 40%: Setelah mencapai 70% pekerjaan dan laporan progres ke-2.
- Tahap 3 – 30%: Setelah pekerjaan selesai 100% dan laporan akhir diterima.
PPK hanya akan mencairkan dana jika bukti-bukti fisik dan dokumen pelaksanaan sesuai dengan ketentuan kontrak.
8.2 Jaminan Pelaksanaan dan Pemeliharaan
Untuk pekerjaan fisik, meskipun nilainya kecil, PPK bisa mewajibkan adanya jaminan:
- Jaminan Pelaksanaan: Umumnya 5% dari nilai proyek, dapat berupa surat pernyataan kesanggupan atau jaminan dari bank.
- Jaminan Pemeliharaan: Diperlukan jika pekerjaan melibatkan konstruksi ringan, dengan masa pemeliharaan 30-90 hari setelah serah terima.
8.3 Laporan Keuangan dan SPJ
Setiap dana yang dikelola dalam kegiatan swakelola harus dipertanggungjawabkan melalui dokumen:
- Surat Pertanggungjawaban (SPJ)
- Kwitansi asli, faktur pembelian, daftar gaji pekerja
- Rekap belanja dan penerimaan
Dokumen SPJ akan menjadi dasar pemeriksaan oleh auditor internal dan eksternal (Inspektorat, BPK, atau APIP).
9. Strategi Sukses untuk Vendor
Untuk dapat berhasil sebagai pelaksana swakelola, baik dalam skema Tipe III (kelompok masyarakat/UMK) maupun Tipe IV (koperasi/BUMDes), diperlukan strategi yang tidak hanya mengandalkan kemampuan teknis, tetapi juga penguasaan administratif dan keterampilan komunikasi. Berikut strategi utama yang harus dijalankan:
a. Pemahaman Regulasi Secara Komprehensif
Vendor atau kelompok masyarakat yang ingin terlibat dalam swakelola harus memahami dasar hukum dan prosedur secara menyeluruh. Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 dan Perpres No. 12 Tahun 2021 merupakan dokumen utama yang harus dipelajari. Selain itu, pedoman teknis dari LKPP dan SOP internal instansi pelaksana juga wajib dikaji untuk menghindari kesalahan prosedur.
Pemahaman ini mencakup aspek seperti:
- Jenis pekerjaan yang boleh dilakukan melalui swakelola
- Tata cara penyusunan RAB
- Syarat administrasi dan pelaporan
- Tata kelola keuangan dan akuntabilitas
b. Bangun Kapasitas Teknis dan Portofolio
Tidak cukup hanya memiliki legalitas, pelaksana juga harus menunjukkan kapasitas teknis-termasuk tenaga kerja yang terampil, pengalaman kerja sebelumnya, dan dokumentasi portofolio kegiatan. Jika Anda belum memiliki pengalaman formal, mulai dari proyek-proyek kecil dengan dokumentasi tertulis dan foto hasil kerja sebagai bukti.
Pelaku swakelola Tipe III yang belum punya pengalaman proyek bisa membuat dokumentasi kegiatan komunitas seperti kerja bakti atau pelatihan lokal sebagai referensi kemampuan.
c. Komunikasi Proaktif dan Etis
Kunci sukses lainnya adalah menjalin komunikasi yang terbuka dan etis dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Pejabat Pengadaan (PPBJ), dan tim teknis. Komunikasi ini tidak untuk “mempengaruhi proses”, tetapi untuk:
- Memastikan pemahaman spesifikasi teknis
- Mendapat arahan tentang dokumen yang dibutuhkan
- Mengonfirmasi batas waktu dan format pelaporan
Komunikasi yang baik akan menumbuhkan kepercayaan antara instansi dan pelaksana swakelola.
d. Transparansi dalam Penyusunan RAB
Rencana Anggaran Biaya (RAB) adalah fondasi dari pelaksanaan swakelola. RAB yang disusun asal-asalan bisa membuat pelaksana defisit atau justru berisiko audit. Oleh karena itu, pastikan:
- Harga material disesuaikan dengan harga pasar lokal
- Honor tenaga kerja realistis dan sesuai UMP
- Biaya operasional diperhitungkan secara wajar
- Tidak ada markup atau pengeluaran fiktif
Jika memungkinkan, gunakan format standar RAB dari instansi pengadaan.
e. Prioritaskan Kualitas Pelaksanaan
Penggunaan tenaga lokal dan bahan baku yang tersedia di daerah dapat menekan biaya dan mempercepat pelaksanaan. Namun, pastikan kualitas tetap dijaga. Gunakan tukang yang berpengalaman, pelatihan bagi anggota kelompok, dan sistem supervisi lapangan yang ketat.
Jangan tergoda menyelesaikan pekerjaan cepat tanpa mematuhi spesifikasi. Serah terima pekerjaan akan melibatkan verifikasi teknis dan pemeriksaan fisik.
10. Tantangan dan Tips Mitigasi Risiko
Pelaksanaan swakelola tidak selalu mulus. Terdapat berbagai tantangan yang sering muncul, terutama ketika melibatkan pelaksana komunitas yang belum terbiasa dengan administrasi proyek. Oleh karena itu, diperlukan mitigasi risiko yang terencana sejak awal.
a. Keterbatasan Sumber Daya Manusia
Kelompok masyarakat atau koperasi kecil sering kekurangan SDM yang menguasai manajemen proyek dan administrasi. Solusinya:
- Bentuk tim cadangan (buffering team) yang bisa mengambil alih saat anggota utama berhalangan.
- Lakukan pelatihan internal dasar seperti penyusunan laporan, teknik dokumentasi, dan penggunaan Excel.
b. Fluktuasi Harga Bahan Material
Harga material yang berubah cepat (seperti semen, bahan bakar, atau besi) bisa membuat RAB meleset dari realitas. Untuk mengatasi ini:
- Ajukan permohonan pencantuman klausul penyesuaian harga (price adjustment) jika proyek berjalan lebih dari satu bulan.
- Buat kontrak pembelian awal (pre-order) dengan toko lokal.
c. Gangguan di Lapangan
Gangguan cuaca, keterlambatan logistik, atau konflik internal kelompok bisa menghambat pelaksanaan. Tips mitigasinya:
- Buat jadwal kerja kontinjensi, termasuk waktu cadangan (buffer time).
- Siapkan material utama terlebih dahulu agar tidak terhambat saat pelaksanaan.
- Tetapkan struktur tanggung jawab jelas dalam kelompok agar konflik bisa diminimalkan.
d. Audit dan Pengawasan
Audit bisa datang sewaktu-waktu, baik dari APIP internal maupun BPK. Oleh karena itu, dokumentasi harus lengkap sejak awal:
- Simpan semua kwitansi asli, daftar hadir, dan foto kegiatan.
- Gunakan buku kas sederhana untuk mencatat keluar-masuk dana.
- Buat folder digital dan fisik yang berisi seluruh dokumen pelaksanaan.
11. Studi Kasus Implementasi Swakelola Tipe III/IV
Studi Kasus 1 – Swakelola Tipe III: Pembangunan Jalan Desa oleh Kelompok Tani
Lokasi: Kecamatan Sukamaju
Nilai Proyek: Rp150 juta
Pelaksana: Kelompok Tani “Tunas Harapan”
Kegiatan: Pembangunan jalan usaha tani sepanjang 300 meter
Keberhasilan karena:
- RAB disusun berdasarkan survei harga pasar lokal
- Tenaga kerja 100% berasal dari anggota kelompok dan warga sekitar
- Material (batu, pasir) dibeli dari toko desa
- Proses pelaporan difoto harian dan diunggah ke Google Drive yang bisa diakses PPK
Hasil:
Pekerjaan selesai 2 hari lebih cepat, tidak ditemukan temuan audit, dan kelompok diberi kesempatan menangani proyek lanjutan berupa saluran irigasi.
Studi Kasus 2 – Swakelola Tipe IV: Renovasi Balai Desa oleh BUMDes
Lokasi: Kabupaten Wonosobo
Nilai Proyek: Rp180 juta
Pelaksana: BUMDes “Makmur Jaya”
Kegiatan: Renovasi gedung balai desa dan pembangunan aula pertemuan
Faktor penentu keberhasilan:
- BUMDes memiliki laporan keuangan audited
- Menggunakan tenaga ahli dari koperasi simpan pinjam mitra
- RAB dan pelaporan menggunakan software sederhana (Excel + Google Docs)
- Semua bukti transaksi disusun dalam SPJ sejak awal
Hasil:
Audit oleh Inspektorat tidak menemukan pelanggaran. BUMDes berhasil mendapat kepercayaan mengelola dua proyek lain (pembuatan taman desa dan pelatihan UMKM).
12. Kesimpulan dan Rekomendasi
Swakelola Tipe III dan IV merupakan alternatif strategis dalam pelaksanaan proyek pemerintah yang mengedepankan nilai pemberdayaan, partisipasi lokal, dan efisiensi anggaran. Dibandingkan pengadaan melalui vendor konvensional, swakelola memberikan ruang yang lebih luas bagi kelompok masyarakat, koperasi, dan BUMDes untuk mengambil peran aktif dalam pembangunan.
Vendor komunitas yang ingin terlibat perlu menyadari bahwa walaupun prosedurnya lebih fleksibel, akuntabilitas dan transparansi tetap menjadi pilar utama. Kelemahan dalam administrasi, pelaporan, atau ketidaktepatan anggaran bisa berdampak pada reputasi jangka panjang.
Rekomendasi Akhir bagi Vendor dan Kelompok Pelaksana Swakelola:
- Pelajari regulasi secara menyeluruh, terutama Perpres No. 16 Tahun 2018, Perpres No. 12 Tahun 2021, dan pedoman teknis dari LKPP.
- Bangun kapasitas manajerial, termasuk pelatihan penyusunan RAB, laporan SPJ, dan manajemen proyek dasar.
- Bentuk tim inti yang solid, dengan pembagian tugas jelas: teknis, keuangan, dan pelaporan.
- Jalin jejaring dengan OPD, PPK, dan pengawas, tetapi jaga profesionalisme dan hindari intervensi.
- Dokumentasikan setiap proses: dari awal mobilisasi hingga serah terima, dengan foto, daftar hadir, dan bukti transaksi.
Dengan persiapan yang matang, komunikasi yang baik, dan eksekusi yang tertib, pelaku swakelola dari kelompok masyarakat atau koperasi akan mampu memberikan kontribusi besar dalam pelaksanaan proyek yang tepat guna, tepat waktu, dan akuntabel-serta memperluas peluang partisipasi ekonomi di tingkat akar rumput.