I. Pendahuluan
alam bisnis penyediaan barang atau jasa, pembayaran tepat waktu merupakan salah satu pilar kelangsungan usaha. Bagi vendor-baik perusahaan besar maupun UMKM-keterlambatan atau bahkan kegagalan pembayaran oleh pihak pembeli dapat menimbulkan masalah serius: arus kas terhambat, biaya operasional menumpuk, dan reputasi usaha sering terancam. Untungnya, di Indonesia terdapat mekanisme hukum dan prosedur alternatif yang dapat ditempuh vendor untuk menuntut haknya agar memperoleh pembayaran sesuai kontrak. Artikel ini menguraikan langkah-langkah praktis dan tahapan hukum yang dapat diambil vendor, mulai dari upaya negosiasi, somasi administratif, mediasi, arbitrase, hingga litigasi di pengadilan, serta tips pencegahan agar pembayaran terjamin sejak awal.
II. Dasar Hukum dan Ketentuan Kontrak
Sebelum vendor mengambil langkah hukum karena tidak dibayar, sangat penting untuk memahami landasan hukum dan dokumen perjanjian yang menjadi pijakan dalam menuntut hak. Tanpa pemahaman ini, gugatan bisa gugur secara formil atau tidak menghasilkan keputusan yang berpihak kepada vendor. Berikut beberapa dasar hukum utama yang berlaku:
- Kitab Undang‑Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
KUHPerdata merupakan dasar utama hukum perikatan di Indonesia. Pasal 1239 hingga 1252 mengatur tentang wanprestasi, yaitu kegagalan salah satu pihak dalam memenuhi isi perjanjian. Bila pembeli tidak membayar sesuai waktu dan jumlah yang ditentukan dalam kontrak, tindakan itu tergolong wanprestasi. Vendor berhak menuntut:- Pelunasan kewajiban pembayaran,
- Ganti rugi materiel dan immateriel,
- Pembayaran bunga keterlambatan.
Pengajuan gugatan harus dilengkapi dengan bukti sah bahwa vendor telah memenuhi kewajiban terlebih dahulu.
- Peraturan Presiden No. 12/2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah
Untuk vendor yang bertransaksi dengan instansi pemerintah, Perpres ini penting. Dalam pengadaan barang/jasa pemerintah, pembayaran wajib dilakukan maksimal 14-30 hari setelah dokumen serah terima (BAST) diterima dan dinyatakan lengkap. Keterlambatan dikenai bunga sesuai ketentuan kontrak atau Perpres. Jika tidak dibayarkan, vendor bisa menuntut melalui penyelesaian sengketa yang diatur dalam regulasi ini. - Undang‑Undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen
Vendor juga bisa memanfaatkan UU Perlindungan Konsumen, khususnya bila pembeli adalah perorangan atau badan usaha dalam posisi sebagai pengguna akhir. UU ini mengatur hak konsumen dan pelaku usaha (vendor) untuk menyelesaikan perselisihan melalui BPSK. - Perjanjian Kontrak / Purchase Order (PO)
Kontrak atau PO adalah dokumen hukum utama yang harus dibaca cermat. Harus memuat:- Nilai total dan termin pembayaran,
- Ketentuan bunga keterlambatan atau denda,
- Mekanisme penyelesaian sengketa (mediasi, arbitrase, atau litigasi).
Pemahaman menyeluruh atas kontrak memungkinkan vendor melangkah secara legal dan sistematis saat menuntut hak.
III. Langkah Awal: Konfirmasi dan Negosiasi
Sebelum membawa masalah ke jalur hukum, vendor wajib mencoba menyelesaikan masalah melalui pendekatan persuasif dan administratif. Pendekatan ini bukan hanya bentuk itikad baik, tetapi juga memperkuat posisi hukum vendor apabila kasus dibawa ke pengadilan. Berikut adalah langkah-langkah strategis yang harus dilakukan:
- Konfirmasi Tertulis
Begitu jatuh tempo pembayaran terlewati, vendor harus segera mengirim surat resmi atau email konfirmasi. Jangan hanya mengandalkan komunikasi verbal. Surat ini harus dilampiri:- Salinan invoice dan termin pembayaran,
- Bukti penyerahan barang/jasa (seperti BAST atau tanda terima),
- Rincian jumlah yang belum dibayar.
Konfirmasi awal ini juga berfungsi sebagai pengingat bahwa vendor aktif menagih dan memiliki dokumentasi komunikasi.
- Negosiasi Bisnis
Jika belum ada respon, vendor dapat melakukan pendekatan langsung kepada pejabat pengadaan atau pihak keuangan pembeli. Terkadang keterlambatan disebabkan proses internal seperti verifikasi dokumen atau proses otorisasi yang belum rampung. Dalam kondisi seperti ini, vendor bisa menawarkan solusi fleksibel:- Jadwal pembayaran bertahap (termin tambahan),
- Skema diskon kecil jika dibayar lebih cepat,
- Opsi invoice financing melalui lembaga keuangan.
Negosiasi ini harus tetap dicatat dalam notulensi atau surat menyurat agar menjadi bukti dalam proses lanjutan.
- Somasi Administratif
Jika pembeli tetap tidak merespons, kirim Surat Somasi. Surat ini adalah bentuk peringatan hukum resmi dan biasa diberi batas waktu 7-14 hari. Isi somasi mencakup:- Referensi kontrak dan nilai tagihan,
- Daftar bukti pengiriman dan dokumen pendukung,
- Permintaan pembayaran dengan tenggat jelas,
- Ancaman akan ditempuh jalur hukum bila tidak ditindaklanjuti.
Somasi menunjukkan vendor telah memberikan kesempatan penyelesaian damai, dan menjadi syarat formil untuk gugatan perdata. Tanpa ini, gugatan bisa dianggap prematur oleh hakim.
IV. Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi
Jika jalur administratif dan negosiasi gagal, vendor masih memiliki opsi menyelesaikan sengketa di luar pengadilan (non-litigasi). Jalur ini lebih cepat, hemat biaya, dan menjaga hubungan bisnis tetap sehat. Berikut opsi yang bisa ditempuh:
- Mediasi
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga netral yang disebut mediator. Mediator akan memfasilitasi pertemuan antara vendor dan pembeli untuk mencari titik temu dan solusi. Keunggulan mediasi:- Proses informal dan rahasia,
- Biaya lebih rendah daripada arbitrase atau litigasi,
- Hasilnya bisa mengikat secara hukum jika dituangkan dalam akta kesepakatan.
Vendor dapat mengajukan mediasi ke lembaga seperti BPSK (untuk kasus konsumen) atau mediator profesional jika kontrak tidak menunjuk lembaga tertentu.
- Arbitrase
Jika kontrak menyebut klausul arbitrase, maka penyelesaian sengketa dilakukan melalui lembaga seperti BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Arbitrase memiliki beberapa karakteristik:- Sifatnya tertutup dan lebih fleksibel daripada pengadilan negeri,
- Diadili oleh arbiter berpengalaman di bidang bisnis atau pengadaan,
- Keputusannya bersifat final dan tidak bisa dibanding (Final and Binding),
- Proses biasanya rampung dalam 3-6 bulan.
Namun, arbitrase memiliki biaya relatif tinggi, sehingga lebih cocok untuk nilai kontrak besar.
- Konsiliasi oleh Instansi Pengadaan
Untuk vendor yang bekerja dengan pemerintah, Perpres 12/2021 memungkinkan penyelesaian internal melalui Panitia Pengadaan atau PPK (Pejabat Pembuat Komitmen). Vendor dapat:- Mengajukan keberatan formal terhadap keterlambatan pembayaran,
- Menuntut bunga keterlambatan sesuai kontrak,
- Meminta mediasi internal sebelum membawa ke LKPP atau lembaga pengawas lainnya.
Konsiliasi ini lebih cepat dibanding membawa sengketa ke arbitrase atau pengadilan dan sering menjadi jalur yang direkomendasikan oleh instansi pemerintah.
Metode non-litigasi ini membantu menghindari keretakan hubungan bisnis dan menghemat biaya. Namun, dibutuhkan komitmen kedua belah pihak untuk mencapai kesepakatan.
V. Litigasi di Pengadilan Negeri
Jika seluruh jalur non-litigasi seperti mediasi atau arbitrase tidak dapat dilakukan—baik karena klausul kontrak tidak mencantumkannya, atau karena pembeli tidak bersedia terlibat—maka vendor masih memiliki opsi litigasi perdata di Pengadilan Negeri. Meski dikenal memakan waktu dan biaya, jalur ini memberikan kepastian hukum serta kekuatan eksekusi paksa yang diakui negara.
- Pengajuan Gugatan Wanprestasi
Vendor dapat mengajukan gugatan wanprestasi berdasarkan Pasal 1239 KUHPerdata, yaitu kondisi ketika salah satu pihak dalam kontrak gagal memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini, vendor menuntut pembayaran karena pembeli telah melakukan pelanggaran kontrak.
Dokumen yang harus disiapkan antara lain:
- Akta pendirian dan legalitas perusahaan (termasuk NPWP dan KTP direksi),
- Kontrak kerja, Surat Perintah Kerja (SPK), atau Purchase Order (PO),
- Bukti penyerahan barang/jasa (BAST, berita acara uji terima, surat jalan),
- Invoice dan bukti komunikasi atau somasi,
- Bukti perhitungan kerugian: biaya operasional, bunga keterlambatan, denda, hingga kerugian reputasi.
Disarankan untuk menggunakan jasa kuasa hukum berpengalaman agar proses gugatan terstruktur dan sesuai prosedur hukum acara.
- Proses di Pengadilan Negeri
Proses dimulai dari pendaftaran gugatan ke bagian panitera perdata di pengadilan negeri domisili tergugat atau lokasi pelaksanaan perjanjian.
- Sidang pertama adalah mediasi wajib, dipimpin hakim mediator. Jika mediasi berhasil, dicatat sebagai akta perdamaian yang berkekuatan hukum tetap.
- Jika gagal, sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan pokok perkara, meliputi pemeriksaan bukti surat, saksi, dan keterangan ahli.
- Setelah proses pembuktian selesai, majelis hakim akan membacakan putusan yang mengikat.
- Putusan dan Tahap Eksekusi
Putusan dapat mencakup:
- Pembayaran pokok utang dan bunga sesuai perjanjian atau perhitungan hakim,
- Penggantian kerugian (materiil dan immateriil),
- Biaya perkara dan biaya bantuan hukum.
Jika tergugat tidak melaksanakan putusan secara sukarela, vendor sebagai pihak pemenang dapat mengajukan permohonan eksekusi. Pengadilan akan menunjuk Juru Sita untuk menyita dan melelang aset tergugat hingga kewajiban pembayaran terpenuhi.
- Biaya dan Estimasi Waktu
Biaya perkara perdata umumnya berkisar antara 1%–3% dari nilai gugatan, tergantung kompleksitas dan lokasi pengadilan. Lama proses litigasi:
- Proses pengadilan tingkat pertama: 6–12 bulan,
- Jika tergugat banding/kasasi: bisa memakan waktu hingga 24 bulan atau lebih,
- Eksekusi putusan bisa butuh waktu tambahan, tergantung ketersediaan aset tergugat.
Litigasi memang berat secara waktu dan biaya, namun memberikan legitimasi penuh untuk vendor menuntut haknya secara paksa dengan kekuatan negara.
VI. Teknik Alternatif: Pengalihan Tagihan dan Invoice Financing
Dalam kondisi tertentu, vendor mungkin tidak ingin melalui proses hukum yang panjang dan kompleks, terutama jika yang dibutuhkan adalah percepatan arus kas dan bukan semata keadilan kontraktual. Untuk itu, terdapat beberapa teknik finansial yang dapat digunakan untuk mengamankan likuiditas:
- Invoice Financing
Invoice financing merupakan bentuk pendanaan di mana vendor menjual atau menjaminkan invoice yang belum dibayar kepada pihak ketiga (biasanya bank atau fintech). Pihak pembeli invoice akan memberikan dana tunai kepada vendor, biasanya sekitar 70%-90% dari nilai invoice, dengan potongan biaya administrasi atau bunga.
Manfaat dari teknik ini:- Vendor mendapatkan uang tunai lebih cepat, tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran,
- Risiko keterlambatan dibebankan ke lembaga pembiayaan,
- Tidak perlu menempuh proses hukum untuk pencairan dana.
Namun, vendor harus memastikan bahwa kontraknya tidak melarang pengalihan tagihan, serta memahami biaya-biaya yang dikenakan.
- Pengalihan Tagihan (Assignment)
- Berdasarkan Pasal 613 KUHPerdata, vendor memiliki hak hukum untuk mengalihkan tagihan kepada pihak ketiga melalui akta notaris. Dalam praktiknya, ini dilakukan dengan sistem jual putus (factoring) atau sebagai jaminan kredit (collateral).
Skema ini cocok bagi vendor yang:- Membutuhkan dana cepat untuk modal kerja proyek lain,
- Tidak ingin berurusan langsung dengan proses penagihan ke pembeli,
- Memiliki hubungan dengan lembaga keuangan yang bersedia mengambil alih risiko penagihan.
- Namun, penting untuk mengkaji apakah kontrak awal mengizinkan cessie dan apakah pembeli bersedia menerima pembayaran kepada pihak ketiga.
- Berdasarkan Pasal 613 KUHPerdata, vendor memiliki hak hukum untuk mengalihkan tagihan kepada pihak ketiga melalui akta notaris. Dalam praktiknya, ini dilakukan dengan sistem jual putus (factoring) atau sebagai jaminan kredit (collateral).
Teknik-teknik ini membantu vendor menjaga kelangsungan bisnis meski pembayaran tersendat.
VII. Tips Pencegahan dan Praktik Terbaik
Daripada sibuk menyelesaikan sengketa pembayaran di akhir proyek, vendor sebaiknya menanamkan budaya pencegahan risiko sejak awal kontrak. Beberapa praktik terbaik berikut bisa sangat membantu:
- Perjelas Termin Pembayaran dalam Kontrak
Kontrak harus mencantumkan termin pembayaran yang jelas dan spesifik-misalnya “30 hari kerja setelah BAST disetujui”. Tambahkan juga bunga keterlambatan, misalnya 1% per bulan, untuk memberikan tekanan hukum pada pembeli. - Lakukan Credit Check pada Pembeli
Lakukan credit check informal: tanyakan kepada vendor lain yang pernah bekerja sama dengan pembeli, atau minta surat referensi bank. Jika pembeli merupakan instansi pemerintah, pelajari rekam jejak pengadaannya di portal LPSE. - Gunakan Pembayaran Bertahap (Milestone)
Bagi proyek menjadi beberapa tahap kerja dan minta pembayaran setiap milestone selesai. Skema ini lebih aman karena vendor tidak perlu menanggung beban penuh proyek sebelum menerima pembayaran. - Cakup Klausul Liquidated Damages
Klausul ini memberikan denda keterlambatan yang bersifat otomatis, misalnya 0,1% dari nilai tagihan per hari keterlambatan. Ini bisa menjadi pendorong pembeli untuk membayar tepat waktu. - Audit Internal & Reminder Sistematis
Vendor profesional sebaiknya menggunakan ERP atau software pengelolaan tagihan untuk mengingatkan jatuh tempo invoice. Audit internal keuangan juga bisa membantu mendeteksi potensi gagal bayar lebih awal.
Dengan pencegahan yang tepat, vendor bisa menjaga arus kas sehat dan menghindari konflik hukum yang mahal dan memakan waktu.
III. Kesimpulan
Masalah pembayaran yang terlambat atau bahkan gagal bukanlah akhir dari perjalanan vendor. Dengan memahami dasar hukum kontrak, vendor memiliki berbagai jalur untuk menuntut haknya, mulai dari somasi, mediasi, arbitrase, hingga litigasi di pengadilan. Meskipun jalur litigasi memberi kekuatan eksekusi yang besar, vendor juga bisa mempertimbangkan teknik keuangan seperti invoice financing dan pengalihan tagihan untuk menjaga arus kas tetap stabil.
Namun, yang paling penting adalah pencegahan sejak awal kontrak-terutama dengan menyusun termin pembayaran yang jelas, meneliti profil pembeli, dan menerapkan sistem manajemen tagihan yang efektif. Dengan strategi legal dan finansial yang tepat, vendor tidak hanya mampu menuntut pembayaran secara sah, tetapi juga membangun sistem bisnis yang lebih tangguh dan profesional di masa depan.