Langkah Hukum yang Bisa Diambil Ketika Vendor Diputus Kontrak

I. Pendahuluan

Dalam menjalankan bisnis sebagai vendor, pemutusan kontrak oleh mitra kerja atau pemberi proyek merupakan salah satu risiko yang dapat mengganggu kelangsungan usaha. Pemutusan ini bisa terjadi karena berbagai alasan-wanprestasi, perubahan kebutuhan, atau sengaja diputus sepihak-dan sering kali menimbulkan kerugian finansial, reputasi, hingga kepercayaan diri. Vendor yang mengalami hal ini membutuhkan pemahaman hukum yang matang agar dapat menuntut hak atas ganti rugi atau setidaknya meminimalkan kerugian. Artikel ini menguraikan langkah-langkah hukum yang dapat diambil vendor, mulai dari telaah dokumen kontrak, upaya negosiasi, somasi, alternatif penyelesaian sengketa, hingga litigasi, disertai strategi pencegahan untuk menghindari sengketa serupa di masa mendatang.

II. Memahami Dasar Pemutusan Kontrak

Sebelum mengambil langkah hukum, vendor wajib memahami dasar pemutusan kontrak yang terjadi. Pemutusan dapat dikategorikan menjadi dua: pemutusan atas dasar wanprestasi dan pemutusan sepihak tanpa dasar wanprestasi. Wanprestasi misalnya vendor gagal memenuhi spesifikasi teknis, terlambat menyerahkan barang/jasa, atau kualitas di bawah standar. Sebaliknya, pemutusan sepihak bisa terjadi karena perubahan anggaran, pembatalan proyek, atau alasan bisnis pemberi kontrak tanpa kesalahan vendor.

Dalam mengidentifikasi apakah pemutusan tersebut sah, peran dokumen kontrak sangat krusial. Vendor perlu membaca pasal-pasal tentang kondisi force majeure, hak dan kewajiban para pihak, klausul pemutusan, serta syarat-syarat terminasi. Jika kontrak mencantumkan opsi pemutusan sepihak hanya dalam situasi tertentu-misalnya mutasi anggaran atau kebijakan internal-vendor harus memastikan bahwa pihak pemberi kontrak benar-benar memenuhi prosedur pemberitahuan dan tenggat pemberitahuan yang diatur.

Pemahaman ini menjadi dasar untuk menentukan apakah vendor bisa menuntut ganti rugi atas pemutusan atau minimal memperoleh kompensasi atas biaya yang telah dikeluarkan.

III. Tinjau Ketentuan Kontrak dan Klausul Pemutusan

Langkah awal dan paling fundamental dalam menghadapi pemutusan kontrak secara sepihak adalah melakukan peninjauan menyeluruh terhadap isi kontrak kerja sama yang telah ditandatangani. Kontrak bukan sekadar dokumen administratif, melainkan landasan hukum yang menentukan posisi, hak, dan kewajiban masing-masing pihak dalam hubungan kerja. Vendor wajib memfokuskan perhatian pada beberapa klausul kunci yang akan menjadi dasar dalam menyusun strategi penyelesaian:

  1. Klausul Pemutusan (Termination Clause)
    Klausul ini menjelaskan secara eksplisit dalam kondisi apa kontrak boleh dihentikan oleh salah satu pihak. Bisa karena wanprestasi (pelanggaran kontrak), force majeure (keadaan memaksa), atau perubahan kebijakan strategis. Vendor harus memastikan apakah pemutusan dilakukan sesuai prosedur-apakah ada kewajiban pemberitahuan tertulis sebelumnya, apakah diberikan waktu pemulihan (cure period), dan apakah ada ketentuan penalti atau kompensasi. Jika prosedur tidak diikuti, pemutusan bisa dianggap tidak sah secara hukum.
  2. Klausul Ganti Rugi dan Kompensasi
    Ini merupakan elemen vital yang menentukan apakah vendor berhak atas penggantian kerugian ketika kontrak dihentikan sebelum waktunya. Bentuk kompensasi bisa meliputi reimbursement biaya persiapan, pembelian material, ongkos tenaga kerja, hingga kompensasi atas potensi keuntungan yang hilang (lost profit) apabila proyek berjalan sesuai rencana. Vendor perlu mengumpulkan dokumen pendukung untuk memperkuat klaim tersebut.
  3. Klausul Force Majeure
    Vendor juga harus menelusuri apakah pemberi kerja beralasan pada keadaan kahar. Apabila pemutusan didasarkan pada kejadian force majeure, maka pembuktian harus memenuhi syarat-kejadian luar biasa yang benar-benar di luar kendali dan menghalangi pelaksanaan kontrak. Vendor dapat menolak pemutusan jika alasan force majeure tidak relevan atau tidak didukung bukti kuat.
  4. Klausul Penyelesaian Sengketa
    Klausul ini menentukan jalur penyelesaian sengketa yang disepakati, apakah melalui mediasi, arbitrase, atau langsung ke pengadilan negeri. Vendor harus memahami yurisdiksi, hukum yang berlaku, dan bahasa kontrak. Hal ini penting karena akan menentukan forum dan mekanisme hukum yang dapat diakses.

Dengan menelaah klausul-klausul ini, vendor dapat merumuskan strategi apakah kontrak diputus sesuai ketentuan, serta hak-hak klaim yang tersedia.

IV. Upaya Negosiasi dan Mediasi Internal

Sebelum vendor mengambil jalur hukum formal seperti arbitrase atau pengadilan, langkah yang bijak adalah terlebih dahulu mencoba menyelesaikan sengketa melalui jalur informal, yaitu negosiasi dan mediasi internal. Pendekatan ini bukan hanya efisien dari sisi waktu dan biaya, tapi juga lebih menjaga hubungan baik dengan mitra bisnis, yang mungkin akan menjadi klien potensial kembali di masa depan.

  1. Permintaan Audiensi
    Langkah pertama adalah mengajukan permintaan pertemuan resmi untuk membahas latar belakang dan alasan pemutusan kontrak. Dalam pertemuan ini, vendor harus bersikap profesional dan konstruktif, bukan defensif. Tujuannya bukan memperkeruh situasi, melainkan menggali kemungkinan penyelesaian damai.
  2. Presentasi Dokumentasi
    Vendor wajib membawa dan mempresentasikan seluruh dokumentasi relevan seperti kontrak asli, surat perintah kerja (SPK), dokumen serah terima sebagian (BAST parsial), foto atau video progres pekerjaan, laporan teknis, dan bukti biaya yang sudah dikeluarkan. Dokumentasi ini penting untuk menunjukkan bahwa vendor telah melaksanakan kewajiban secara substansial dan pemutusan tidak sepenuhnya beralasan.
  3. Penawaran Solusi Alternatif
    Dalam forum ini, vendor bisa menawarkan jalan tengah, seperti revisi ruang lingkup kerja agar sesuai anggaran pemberi kerja, negosiasi skema pembayaran atas pekerjaan yang telah selesai, atau usulan penyelesaian sebagian proyek. Bila pemutusan tidak dapat dihindari, vendor bisa mengusulkan kompensasi pengakhiran dini (early termination fee) atau uplift fee sebagai bentuk goodwill.
  4. Memanfaatkan Fasilitas Mediasi Internal
    Khusus untuk kontrak pemerintah atau instansi besar, umumnya tersedia jalur mediasi internal melalui Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Unit Layanan Pengadaan (ULP), atau Bagian Hukum instansi. Jalur ini relatif informal, tidak membutuhkan biaya, dan sering menghasilkan solusi kompromi. Walau tidak selalu mengikat secara hukum, hasil mediasi internal dapat menjadi pijakan kesepakatan damai yang kemudian dituangkan dalam berita acara atau nota kesepahaman.

Hasil negosiasi yang berhasil sebaiknya dituangkan secara tertulis, ditandatangani oleh kedua pihak, dan mencantumkan syarat dan ketentuan baru yang disepakati. Ini akan menjadi bukti kuat jika di kemudian hari terjadi perselisihan lanjutan.

V. Somasi sebagai Langkah Formal

Jika seluruh jalur negosiasi telah ditempuh dan tidak membuahkan hasil, vendor memasuki fase yang lebih formal yaitu pelayangan somasi hukum. Somasi bukan hanya peringatan semata, melainkan merupakan syarat hukum (pra-kondisi) sebelum gugatan diajukan ke pengadilan atau arbitrase.

Fungsi Strategis Somasi

Somasi berfungsi untuk:

  • Memberikan kesempatan terakhir kepada pemberi kerja untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
  • Menegaskan posisi hukum vendor yang siap mengambil langkah hukum.
  • Menciptakan dokumentasi hukum yang sah sebagai bukti upaya penyelesaian non-litigasi.

Struktur Somasi yang Efektif

Somasi yang baik harus disusun secara sistematis dan berdasarkan hukum:

  1. Kop Surat dan Identitas
    Sertakan identitas lengkap perusahaan vendor, alamat korespondensi, serta nomor kontrak/SPK dan tanggal surat.
  2. Pernyataan Dasar Pemutusan
    Paparkan kronologi pemutusan kontrak, alasan yang diberikan pemberi kerja, serta kutipan pasal kontrak yang dilanggar. Jelaskan mengapa pemutusan dianggap tidak sah atau merugikan.
  3. Rincian Tunggakan
    Cantumkan angka kompensasi atau biaya yang diminta, mulai dari biaya produksi, biaya pembatalan, hingga lost profit. Lampirkan perhitungan terperinci.
  4. Batas Waktu Pembayaran
    Nyatakan dengan jelas tenggat waktu untuk membayar kompensasi atau memberikan jawaban tertulis-biasanya 7 sampai 14 hari sejak surat diterima.
  5. Peringatan Tindakan Hukum
    Tegaskan bahwa jika tidak ada tanggapan dalam tenggat tersebut, vendor akan mengambil langkah hukum sesuai ketentuan kontrak dan hukum yang berlaku, baik melalui arbitrase, pengadilan, maupun upaya pelaporan administratif.

Somasi bisa dikirimkan melalui pos tercatat atau kurir dengan tanda terima, serta via email, untuk memastikan bukti penerimaan dan tanggal kirim tercatat.

Penting: Simpan bukti somasi beserta tanda terima, karena ini akan menjadi salah satu bukti penting di pengadilan.

VI. Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi: Mediasi & Arbitrase

Setelah vendor melayangkan somasi dan belum memperoleh respons atau penyelesaian yang memuaskan, opsi yang lebih strategis dan efisien dibandingkan litigasi di pengadilan negeri adalah melalui mekanisme penyelesaian sengketa non-litigasi, seperti mediasi dan arbitrase. Opsi-opsi ini memiliki keunggulan utama berupa efisiensi waktu, kerahasiaan, fleksibilitas proses, serta potensi mempertahankan hubungan bisnis antar pihak.

1. Mediasi oleh Pihak Ketiga Independen

Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa yang difasilitasi oleh seorang mediator netral, yang berperan membantu para pihak menemukan solusi bersama tanpa menjatuhkan keputusan. Vendor dapat memilih lembaga mediasi yang kredibel seperti:

  • Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), bila sengketa berkaitan dengan konsumen akhir.
  • Mediator independen bersertifikat dari lembaga seperti BANI Mediation Center, atau mediator yang disepakati bersama.

Proses mediasi biasanya dimulai dengan sesi awal untuk menjelaskan posisi masing-masing pihak, diikuti dengan perundingan terbuka maupun tertutup (caucus), dan difasilitasi agar pihak-pihak dapat mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian. Apabila mediasi berhasil, hasilnya dituangkan dalam Akta Perdamaian (Acta van Dading). Jika kemudian didaftarkan ke Pengadilan Negeri, dokumen ini akan memiliki kekuatan eksekutorial-artinya dapat dilaksanakan layaknya putusan pengadilan jika salah satu pihak ingkar.

Mediasi sangat dianjurkan dalam sengketa kontrak komersial karena memberikan ruang kompromi dan bersifat lebih humanis serta non-konfrontatif.

2. Arbitrase Komersial

Jika mediasi tidak berhasil atau tidak disepakati, vendor dapat mengajukan sengketa ke forum arbitrase, seperti BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia). Namun, untuk menggunakan jalur ini, kontrak harus memuat klausul arbitrase secara eksplisit. Bila tidak, maka vendor tetap dapat menggunakan arbitrase tetapi harus memperoleh persetujuan tertulis dari pihak lawan.

Keunggulan arbitrase dibanding pengadilan adalah prosesnya yang tertutup (rahasia), relatif cepat (sekitar 3-6 bulan), lebih fleksibel, dan putusan bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya tidak bisa diajukan banding. Prosedurnya mencakup pengajuan permohonan arbitrase, penunjukan arbiter tunggal atau majelis arbiter, pemeriksaan dokumen, sidang pembuktian, hingga pembacaan putusan. Meski biayanya bisa lebih tinggi daripada mediasi, arbitrase tetap lebih efisien secara keseluruhan daripada proses litigasi yang panjang dan terbuka.

3. Konsiliasi Internal di Instansi Pemerintah

Dalam konteks kontrak dengan instansi pemerintah, vendor memiliki jalur khusus melalui konsiliasi internal yang diatur dalam Perpres 12/2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Dalam mekanisme ini, vendor dapat menyampaikan keberatan tertulis kepada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Panitia Pemeriksa Hasil Pekerjaan, untuk kemudian dilakukan penyelesaian melalui SOP internal. Proses ini biasanya berlangsung lebih informal, tidak memerlukan biaya, dan dapat menghasilkan kesepakatan administratif yang mencegah eskalasi ke jalur hukum.

Penyelesaian sengketa non-litigasi seharusnya menjadi prioritas utama karena memberikan manfaat tidak hanya dari segi efisiensi dan biaya, tetapi juga menjaga reputasi serta relasi profesional antar pihak, khususnya dalam industri atau sektor bisnis yang mengandalkan repeat partnership.

VII. Gugatan Wanprestasi di Pengadilan Negeri

Apabila seluruh upaya damai, baik melalui negosiasi, mediasi, arbitrase, maupun konsiliasi internal, tidak membuahkan hasil yang memadai, maka langkah terakhir yang dapat ditempuh vendor adalah mengajukan gugatan wanprestasi ke Pengadilan Negeri. Jalur litigasi ini bersifat publik, formal, dan berbasis pada prosedur hukum yang ketat, tetapi memberikan kekuatan hukum yang tegas dan dapat dieksekusi secara paksa oleh negara.

  1. Persiapan Dokumen:
    Untuk mengajukan gugatan, vendor perlu mempersiapkan dokumen-dokumen berikut:

    • Surat Gugatan: Dokumen utama yang memuat uraian fakta peristiwa, dasar hukum wanprestasi, dan tuntutan yang dimohonkan kepada pengadilan (misalnya: pembayaran kompensasi, denda, atau perintah eksekusi).
    • Bukti Kontrak: Termasuk perjanjian kerja sama, SPK, PO, atau adendum yang menunjukkan kewajiban pemberi kerja.
    • Dokumen Serah Terima Pekerjaan (BAST), invoice, kuitansi, dan bukti somasi sebagai bukti bahwa vendor telah menjalankan kewajiban dan memberi kesempatan untuk menyelesaikan sengketa sebelumnya.
    • Perhitungan Kerugian: Termasuk kerugian riil (biaya bahan, tenaga kerja, logistik), kerugian potensial (lost profit), dan perhitungan bunga keterlambatan atau denda sesuai kontrak.
  2. Prosedur Pengadilan:
    Proses hukum dimulai dengan pendaftaran gugatan ke Panitera Perdata di pengadilan yang berwenang (sesuai domisili tergugat atau lokasi pelaksanaan kontrak). Setelah didaftarkan:

    • Sidang Pertama diisi dengan upaya mediasi oleh hakim mediator. Jika mediasi gagal, maka dilanjutkan ke sidang pemeriksaan pokok perkara.
    • Dalam pemeriksaan, masing-masing pihak dapat menghadirkan bukti tertulis, saksi, dan/atau ahli untuk memperkuat argumen.
    • Setelah pemeriksaan rampung, hakim akan membacakan putusan yang mencakup apakah tergugat terbukti wanprestasi, dan berapa besaran ganti rugi yang wajib dibayar.
  3. Putusan dan Eksekusi:
    Putusan pengadilan bersifat eksekutorial, yang artinya dapat dimohonkan eksekusi paksa melalui juru sita jika pihak tergugat tidak mau memenuhi isi putusan secara sukarela. Bentuk eksekusi bisa berupa penyitaan dan pelelangan aset, pemblokiran rekening bank, atau perintah pengosongan aset tergugat.
  4. Biaya dan Waktu:
    Litigasi di pengadilan umumnya menelan biaya sekitar 1%-3% dari nilai gugatan, tergantung kompleksitas perkara dan wilayah hukum. Durasi prosesnya cukup panjang, rata-rata antara 12 hingga 18 bulan, termasuk upaya eksekusi.

Meskipun memakan waktu, energi, dan biaya, litigasi adalah alat penegakan hak yang paling kuat secara hukum, terutama ketika pihak lawan benar-benar tidak kooperatif dan semua alternatif penyelesaian gagal dilakukan.

VIII. Strategi Pencegahan dan Rekomendasi

Menghindari sengketa lebih baik daripada menyelesaikannya. Oleh karena itu, vendor perlu membangun sistem mitigasi risiko kontraktual secara sistematis. Berikut beberapa strategi pencegahan yang dapat diterapkan untuk melindungi kepentingan bisnis jangka panjang:

  • Perjelas Klausul Kontrak: Pastikan kontrak mencantumkan dengan tegas termin pembayaran, tenggat waktu, bunga keterlambatan, ketentuan penalti, serta prosedur terminasi kontrak. Ketentuan ini akan menjadi alat kontrol dan dasar hukum ketika terjadi keterlambatan atau pembatalan sepihak.
  • Credit Check Pembeli: Vendor wajib melakukan analisis risiko terhadap calon mitra usaha. Ini bisa dilakukan dengan memeriksa riwayat pembayaran, meminta referensi dari vendor lain, serta melakukan pengecekan status hukum dan laporan keuangan mitra.
  • Skema Pembayaran Bertahap: Bagi pekerjaan dalam beberapa milestone, sehingga pembayaran bisa dilakukan seiring progres. Ini melindungi arus kas dan mengurangi risiko akumulasi piutang besar di akhir proyek.
  • Simpan Dokumentasi Lengkap: Simpan semua komunikasi proyek, baik surat menyurat, email, notulen rapat, invoice, hingga laporan kerja harian. Dokumentasi yang lengkap akan sangat berguna dalam pembuktian apabila terjadi sengketa.
  • Asuransi Kredit: Untuk proyek bernilai tinggi, vendor dapat menggunakan asuransi piutang guna mengalihkan risiko gagal bayar. Alternatifnya, invoice financing memungkinkan vendor mencairkan tagihan sebelum jatuh tempo.

Dengan pencegahan yang matang, vendor akan berada dalam posisi yang lebih kuat baik dalam negosiasi maupun penyelesaian hukum, sehingga keberlangsungan bisnis tetap terjaga.

IX. Kesimpulan

Pemutusan kontrak oleh pemberi kerja-apakah melalui wanprestasi, perubahan kebutuhan, atau secara sepihak-dapat menimbulkan dampak serius bagi kelangsungan usaha vendor. Namun, vendor tidaklah tanpa kekuatan: mulai dari menelaah klausul kontrak secara mendalam, melakukan negosiasi dan somasi administratif, hingga memanfaatkan jalur non-litigasi (mediasi, arbitrase) maupun litigasi perdata di pengadilan negeri, semua langkah tersebut tersedia untuk menegakkan hak atas ganti rugi dan kompensasi. Di sisi lain, teknik keuangan seperti invoice financing atau cessie dapat membantu menjaga arus kas sambil menempuh proses hukum. Lebih baik lagi, vendor bisa mencegah sengketa dengan menyusun kontrak yang solid-mencantumkan termin pembayaran jelas, denda keterlambatan, dan mekanisme penyelesaian sengketa-serta menerapkan credit check dan milestone payment. Dengan strategi hukum dan finansial yang komprehensif, vendor dapat meminimalkan kerugian sekaligus memperkuat posisi tawar dalam setiap hubungan bisnis.

Silahkan Bagikan Artikel Ini Jika Bermanfaat
Avatar photo
Humas Vendor Indonesia

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *