Kontrak Kritis dan Lintasan Kritis (critical line) pada Pelaksanaan Pekerjaan

Nampak sama namun sebenarnya tidak, itulah yang terlihat mengenai Kontrak Kritis dan Lintasan Kritis (critical line) dalam Pelaksanaan Pekerjaan.

Mungkin terlihat serupa karena sama-sama mengandung kata “Kritis”.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (https://kbbi.web.id/), Kritis diartikan dalam keadaan krisis, gawat, genting (tentang suatu keadaan).

Kalo begitu, Apa yang membedakan Kontrak Kritis dan Lintasan Kritis (critical line) dalam Pelaksanaan Pekerjaan?

Apa yang dimaksud dengan Kontrak Kritis?

 Jika kita mengacu dalam Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/jasa Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia, Hal terpenting yang dilakukan oleh PPK sesuai dengan tugas yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 adalah Mengendalikan Kontrak dalam Pelaksanaan Pekerjaan.

Dalam Pengendalian Kontrak salah satu hal yang dilakukan yaitu mengendalikan agar Pekerjaan tidak mengalami Keterlambatan.

Dalam Peraturan LKPP Nomor 9 Tahun 2018 dijelaskan hal-hal sebagai berikut :

  • Dalam hal terjadi deviasi antara realisasi dengan target pelaksanaan Kontrak atau terjadi Kontrak Kritis maka para pihak melakukan Rapat Pembuktian (Show Cause Meeting/SCM). Pejabat Penandatangan Kontrak memerintahkan Penyedia untuk melaksanakan perbaikan target dan realisasi pelaksanaan pekerjaan.
  • Apabila Penyedia tidak mampu mencapai target yang ditetapkan pada SCM maka Pejabat Penandatangan Kontrak mengeluarkan Surat Peringatan (SP) kepada Penyedia.
  • Dalam hal telah dikeluarkan SP ketiga dan Penyedia dinilai tidak mampu mencapai target yang ditetapkan, maka Pejabat Penandatangan Kontrak dapat melakukan pemutusan Kontrak secara sepihak dan memberikan sanksi kepada Penyedia sesuai ketentuan yang berlaku.

Penjelasan lebih rinci tertuang di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia, yaitu:

Kontrak dinyatakan kritis apabila:

  1. Dalam periode I (rencana fisik pelaksanaan 0% – 70% dari Kontrak), selisih keterlambatan antara realisasi fisik pelaksanaan dengan rencana lebih besar 10%
  2. Dalam periode II (rencana fisik pelaksanaan 70% – 100% dari Kontrak), selisih keterlambatan antara realisasi fisik pelaksanaan dengan rencana lebih besar 5%;
  3. Dalam periode II (rencana fisik pelaksanaan 70% – 100% dari Kontrak), selisih keterlambatan antara realisasi fisik pelaksanaan dengan rencana pelaksanaan kurang dari 5% dan akan melampaui tahun anggaran berjalan.

Penanganan kontrak kritis dilakukan dengan rapat pembuktian (show cause meeting/SCM), dengan uraian sebagai berikut :

  1. Pada saat Kontrak dinyatakan kritis, Pengguna Jasa berdasarkan laporan dari Pengawas Pekerjaan memberikan peringatan secara tertulis kepada Penyedia dan selanjutnya Pengguna Jasa menyelenggarakan Rapat Pembuktian (SCM) Tahap I.
  2. Dalam SCM Tahap I, Pengguna Jasa, Pengawas Pekerjaan dan Penyedia membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap I.
  3. Apabila Penyedia gagal pada uji coba pertama, maka Pengguna Jasa menerbitkan Surat Peringatan Kontrak Kritis I dan harus diselenggarakan SCM Tahap II yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam waktu tertentu (uji coba kedua) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap II.
  4. Apabila Penyedia gagal pada uji coba kedua, maka Pengguna Jasa  menerbitkan Surat Peringatan Kontrak Kritis II dan harus diselenggarakan SCM Tahap III yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap III.
  5. Apabila Penyedia gagal pada uji coba ketiga, maka Pengguna Jasa menerbitkan Surat Peringatan Kontrak Kritis III dan Pengguna Jasa dapat melakukan pemutusan Kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
  6. Apabila uji coba berhasil, namun pada pelaksanaan pekerjaan selanjutnya Kontrak dinyatakan kritis lagi maka berlaku ketentuan SCM dari awal.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Kontrak Kritis adalah :

  • Suatu Kondisi Kontrak yang dalam pelaksanaannya terjadi deviasi antara realisasi dengan target pelaksanaan Kontrak yang diperlukan Rapat Pembuktian (Show Cause Meeting/SCM) oleh para pihak untuk perbaikan target dan realisasi pelaksanaan pekerjaan yang mengalami deviasi tersebut (Peraturan LKPP No.9 Tahun 2018);
  • Suatu Kondisi Kontrak Pekerjaan Konstruksi yang dalam pelaksanaan periode I (0% – 70%) terjadi selisih keterlambatan antara realisasi fisik pelaksanaan dengan rencana lebih dari 10%, dalam pelaksanaan periode II (70% – 100%) terjadi selisih keterlambatan antara realisasi fisik pelaksanaan dengan rencana lebih dari 5%, dalam pelaksanaan periode II (70% – 100%) yang akan melampaui tahun anggaran berjalan terjadi selisih keterlambatan antara realisasi fisik pelaksanaan dengan rencana kurang dari 5% (Peraturan PUPR No.14 Tahun 2020).
Gambar 1. Contoh Kontrak Kritis Periode I (0% - 70%)
Gambar 1. Contoh Kontrak Kritis Periode I (0% – 70%)

Jika memperhatikan gambar 1, Kurva S yang berwarna Hitam merupakan Kurva Rencana sedangkan Kurva yang berwarna Hijau merupakan Kurva Realisasi (Aktual) Pelaksanaan Kontrak.

Dari gambar tersebut menjelaskan terjadi Kontrak Kritis Periode I dimana terjadi Deviasi (selisih antara realisasi pelaksanaan dengan rencana) yang lebih dari 10% (> 10%), yaitu sebesar 11,9%.

Berdasarkan Peraturan PUPR No.14 Tahun 2020, Pada saat Kontrak dinyatakan kritis, Pengguna Jasa berdasarkan laporan dari Pengawas Pekerjaan memberikan peringatan secara tertulis kepada Penyedia dan selanjutnya Pengguna Jasa menyelenggarakan Rapat Pembuktian (SCM) Tahap I.

Dalam SCM Tahap I, Pengguna Jasa, Pengawas Pekerjaan dan Penyedia membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap I.

Apabila Penyedia gagal pada uji coba pertama, maka Pengguna Jasa menerbitkan Surat Peringatan Kontrak Kritis I dan harus diselenggarakan SCM Tahap II yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh Penyedia dalam waktu tertentu (uji coba kedua) yang dituangkan dalam Berita Acara SCM Tahap II, dan seterusnya.

Gambar 2. Contoh Kontrak Kritis Periode II (70% - 100%)
Gambar 2. Contoh Kontrak Kritis Periode II (70% – 100%)
Gambar 3. Contoh Kontrak Kritis Periode III (70% - 100%) dan akan melampaui Tahun Anggaran
Gambar 3. Contoh Kontrak Kritis Periode III (70% – 100%) dan akan melampaui Tahun Anggaran

Jika memperhatikan gambar 2, terjadi Kontrak Kritis Periode II dimana terjadi Deviasi (selisih antara realisasi pelaksanaan dengan rencana) yang lebih dari 5% (> 5%), yaitu sebesar 6,39%. Dan gambar 3. Kontrak Kritis Periode III dimana terjadi Deviasi (selisih antara realisasi pelaksanaan dengan rencana) yang kurang dari 5% (< 5%) dan akan melampaui Tahun Anggaran berjalan, yaitu sebesar 3,64%.

Seperti hal yang dijelaskan pada Kontrak Kritis Periode I, Perlu dilakukan pengendalian dengan mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia.

Kemudian, Apa yang dimaksud dengan Lintasan Kritis (critical line)?

Jika mendengar Lintasan Kritis (critical line), saya jadi teringat dengan salah satu mata kuliah saat belajar di program studi Teknis Sipil, yaitu Mata Kuliah Manajemen Konstruksi.

Salah satu yang dibahas di dalam mata kuliah tersebut yaitu tentang Lintasan Kritis (critical line), dan sekarang saya mendengar istilah tersebut juga dalam Pengadaan Barang/Jasa khususnya terkait Pengendalian Kontrak, yaitu monitoring terkait waktu pelaksanaan.

Lintasan kritis adalah jalur yang memiliki rangkaian beberapa aktifitas dengan total jumlah waktu pelaksanaan paling lama. Sehingga bila salah satu aktifitas pada lintasan kritis tersebut mengalami keterlambatan penyelesaian, maka akan mempengaruhi waktu penyelesaian seluruh pekerjan.

Instrumen atau alat yang digunakan untuk menentukan Lintasan Kritis (critical line) yaitu dengan Diagram Jaringan Kerja (Network Planning Diagram) dengan metode Critical Path Method/CPM (Metoda lintasan kritis).

Melalui Diagram Jaringan Kerja (Network Planning Diagram) ini kita dapat mengetahui Lintasan Kritis (critical line) dari pekerjaan. Lintasan kritis inilah yang menjadi perhatian utama dalam pengendalian kontrak terkait jadwal dan setiap saat dapat ditentukan tingkat prioritas kebijaksanaan penyelenggaraan pekerjaan.

Gambar 4. Diagram Jaringan Kerja (Network Planning Diagram)
Gambar 4. Diagram Jaringan Kerja (Network Planning Diagram)

Cara menghitung Nilai EET dan LET adalah sebagai berikut:

  • Perhitungan maju

Perhitungan maju digunakan untuk memperoleh kapan waktu paling awal dimulainya suatu aktifitas (EETi = Earliest Event Time node i pada I-node) dan waktu selesainya (EETj = Earliest Event Time node j pada J-node) untuk suatu aktifitas, dilakukan dengan mengambil nilai maksimum dari perhitungan durasi setiap aktifitas. Begitu pula dengan nilai seperti dibawah ini:

ES (Earliest Start) : Saat paling cepat untuk memulai suatu aktifitas.

EF (Earliest Finish) : Saat paling cepat untuk akhir suatu aktifitas.

  • Perhitungan mundur

Perhitungan mundur digunakan untuk memperoleh kapan waktu paling lambat dimulainya suatu aktifitas (LETi = Latest Event Time node i pada I-Node) dan waktu selesainya (LETj = Latest Event Time node j) pada J-Node) untuk suatu aktifitas, dilakukan dengan mengambil nilai minimum dari perhitungan durasi setiap aktifitas. Begitu pula dengan nilai seperti dibawah ini:

LS (Latest Start) : Saat paling lambat untuk memulai suatu aktifitas.

LF (Latest Finish)  : Saat paling lambat untuk akhir suatu aktifitas.

Gambar 5. Contoh 1. Perhitungan EET dan LET
Gambar 5. Contoh 1. Perhitungan EET dan LET
Gambar 6. Contoh 2. Perhitungan EET dan LET
Gambar 6. Contoh 2. Perhitungan EET dan LET
Gambar 7. Contoh 3. Perhitungan EET dan LET – (data olah dari sumber contoh : materi Kompetensi UK.20 Mengendalikan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa LKPP)
Gambar 7. Contoh 3. Perhitungan EET dan LET – (data olah dari sumber contoh : materi Kompetensi UK.20 Mengendalikan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa LKPP)

Bagaimana cara menentukan Lintasan Kritis (critical line) dalam Diagram Jaringan Kerja (Network Planning Diagram) ?

Ciri-ciri dari aktifitas yang masuk dalam lintasan kritis adalah sebagai berikut :

  • Nilai EET sama dengan LET.
  • Urut-urutan aktifitas yang menghasilkan durasi terpanjang untuk penyelesaian pekerjaan.
  • Tidak terdapat tenggang waktu antara akhir dari suatu aktifitas dengan waktu dimulainya aktifitas berikutnya.

Contoh Menentukan Lintasan Kritis (critical line) :

Tabel 1. Daftar Kegiatan dan Waktu

Gambar 8. Perhitungan EET (Perhitungan Maju)
Gambar 8. Perhitungan EET (Perhitungan Maju)
Gambar 9. Perhitungan LET (Perhitungan Mundur)
Gambar 9. Perhitungan LET (Perhitungan Mundur)

Berdasarkan Diagram Jaringan Kerja (Network Planning Diagram) pada gambar 9, dapat kita tentukan Lintasan Kritis (critical line) berdasarkan perhitungan Nilai EET (Earliest Event Time) dan LET (Latest Event Time). Dimana ciri dari Lintasan Kritis yaitu nilai EET sama dengan LET (EET = LET).

Gambar 10. Lintasan Kritis (critical line)
Gambar 10. Lintasan Kritis (critical line)

Pada contoh kasus di atas diperoleh kegiatan kritis ditunjukan pada garis panah berwarna merah yaitu :  A – B – D – F – G. Sedangkan yang  dimaksud lintasan kritis (critical line) yang merupakan lintasan dari start sampai dengan finish yang terdiri dari rangkaian kegiatan-kegiatan kritis. Adapun lintasan kritis  pada Gambar 10 adalah 1 – 2 – 3 – 5 – 7 – 8.

Lintasan kritis inilah yang menjadi perhatian utama dalam pengendalian kontrak terkait jadwal dan setiap saat dapat ditentukan tingkat prioritas kebijaksanaan penyelenggaraan pekerjaan.

Referensi :

  • Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang/jasa pemerintah;
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi Melalui Penyedia;
  • Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/jasa Pemerintah Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia;
  • Buku Informasi Jenis Kompetensi Mengelola Kontrak Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Level 4 – Pusdiklat LKPP 2019;
  • Buku Informasi UK.20 Mengendalikan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa LKPP;
  • Materi Kompetensi UK.20 Mengendalikan Kontrak Pengadaan Barang/Jasa LKPP;
  • https://kbbi.web.id/kritis
  • https://www.pexels.com/id-id/pencarian/monitoring/
  • https://www.pexels.com/id-id/pencarian/kontrak%20kritis/
Silahkan Bagikan Artikel Ini Jika Bermanfaat
Avatar photo
Humas Vendor Indonesia

One comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 59 = 62