PELAKSANAAN PENGADAAN BARANG/ JASA SECARA ELEKTRONIK (E-PROCUREMENT)

Terselenggaranya tata pemerintahan yang baik (good governance) merupakan cita-cita dan harapan bangsa Indonesia. Menurut Mardiasmo (2005:114) mengemukakan bahwa orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance, dimana pengertianya adalah tata kelola pemerintahan yang baik. Upaya pemerintah Indonesia dalam mewujudkan good governance adalah dengan cara melakukan reformasi dalam segala kegiatan pemerintahan ataupun pelayanan publik melalui pemanfaatan teknologi informasi atau e-government. Salah satu bentuk penyelenggaraan e-government untuk mencapai good governance adalah pengadaan barang/jasa pemerintah secara elektronik.

Pemanfaatan teknologi dalam proses pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan wujud dari perubahan yang dilakukan karena banyaknya permasalahan yang terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah secara konvensional. Penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya tentang pengadaan barang/jasa secara konvensional menghasilkan sisi negatif, antara lain: suap untuk memenangkan tender, proses tender tidak transparan, kurangnya persaingan sehat diantara penyedia, pencantuman spesifikasi teknis hanya dapat dipasok oleh satu pelaku usaha tertentu, pengusaha yang tidak memiliki administrasi lengkap dapat ikut tender bahkan menang (Udoyono, 2012).

Sebelumnya pemerintah mengeluarkan pedoman pelaksanaan pengadaan barang dan jasa pemerintah dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003. Dalam peraturan tersebut, setiap instansi pemerintah dapat melakukan pengadaan barang dan jasa secara langsung. Hal ini sangat rentan terhadap terjadinya tindakan kolusi yang dilakukan oleh panitia pengadaan dengan penyedia barang dan jasa, yang pada akhirnya merugikan negara.

Dalam pelaksanaan penggunaan anggaran belanja daerah sangat dimungkinkan terjadinya penyalahgunaan anggaran dalam proses tender proyek- proyek pemerintahan. Pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang didanai APBD maupun APBN disadari memang sering terjadi penyalahgunaan anggaran. Kebocoran dana pada proses pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat mencapai 10 % sampai 50% karena sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah di Indonesia sangat rawan KKN (Imam, 2005). Dalam APBN 2013 tercatat total belanja yang melalui proses pengadaan barang/jasa adalah Rp. 534 triliun atau 31,73 % dari total APBN yang terdiri dari 284 triliun yang merupakan bagian dari belanja pemerintah dan Rp. 240 triliun adalah belanja pemerintah daerah (Depkeu, 2014). Sayangnya besaran dana yang dialokasikan belum diimbangi dengan pengelolaan yang baik. Dari hasil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semester II tahun 2012 untuk belanja pemerintah pusat yang berkaitan dengan pengadaan barang/jasa ditemukan 212 kasus diantaranya terdapat indikasi kerugian negara sebanyak 65 kasus (BPK, 2013).

Dengan demikian proses pengadaan barang dan jasa pemerintah ini menjadi salah satu titik lemah dalam pelaksanaan anggaran belanja daerah. Ketika pengadaan barang dan jasa ini dilaksanakan dengan baik yaitu dilakukan dengan menerapkan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa maka akan dapat mengefisienkan anggaran pembangunan. Ini menggambarkan betapa pentingnya pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilaksanakan secara transparan, akuntabel dan memenuhi prinsip-prinsip dari pengadaan barang/jasa.

Pengadaan barang/jasa pemerintah adalah aktifitas pemerintah yang paling rawan dengan korupsi (Kouffman, World Bank 2006). Sebanyak 38 % dari kasus yang ditangani KPK adalah kasus korupsi pengadaan barang/jasa (Lap Tahunan KPK 2012). Oleh karena itu, pada tahun 2010 Presiden Indonesia mengatur secara tegas dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 bahwa pengadaan barang/jasa Pemerintah diwajibkan dilakukan secara elektronik atau e-procurement, yaitu Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota wajib melakukan pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-procurement).

Sebelum tahun 2008, pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan dengan menggunakan sistem konvensional. Sistem ini membutuhkan interaksi secara langsung dan tatap muka antara panitia pengadaan dan penyedia jasa. Namun dalam proses pengadaan barang dan jasa secara konvensional ditemukan berbagai penyimpangan. Penyimpangan tersebut sebagian besar pada proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa.

Menurut Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (2010) permasalahan tersebut disebabkan antara lain pengumuman lelang yang tidak transparan, pengaturan tender, menyalahi prosedur dalam proses pengadaan, terjadinya intervensi terhadap panitia, spesifikasi atau syarat-syarat dokumen pengadaan yang diarahkan untuk pihak tertentu serta tidak fokusnya panitia dalam melaksanakan tugas dikarenakan tugas ganda/sampingan. Berbagai penyimpangan tersebut bersifat administratif dan berkaitan dengan anggaran, seperti korupsi, kolusi dan mark up anggaran yang pada akhirnya merugikan keuangan negara maupun daerah.

Pengadaan secara konvensional juga membutuhkan waktu lama, sehingga dipandang menyia-nyiakan waktu dan biaya, kurangnya informasi serta kompetisi yang kurang sehat yang berakibat terhadap kualitas pengadaan, terjadi ekslusi terhadap pemasok potensial dan pemberian hak khusus terhadap pemasok tertentu (Tastsis et al, 2006). Menurut Purwanto dkk (2008) berbagai persoalan yang muncul dalam pengadaan barang/jasa secara konvensional dapat diklasifikasikan sebagai berikut (a) minimnya monitoring; (b) penyalahgunaan wewenang; (c) penyimpangan kontrak; (d) kolusi antara pejabat publik dan rekanan; (e) manipulasi dan tidak transparan; (f) kelemahan SDM.

Dengan adanya e-procurement peluang untuk kontak langsung antara penyedia barang/jasa dengan panitia pengadaan menjadi semakin rendah, sehingga proses pengadaan dapat berlangsung lebih transparan, hemat waktu dan biaya serta mudah dalam pertanggung jawaban keuangannya. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan keuangan negara yang dibelanjakan melalui proses pengadaan barang/jasa pemerintah, diperlukan upaya untuk untuk menciptakan keterbukaan, transparansi, akuntabilitas serta prinsip persaingan/kompetisi yang sehat dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah yang dibiayai APBN/APBD. Upaya tersebut diperlukan agar diperoleh barang/jasa yang terjangkau dan berkualitas serta dapat dipertanggung jawabkan baik dari segi fisik, keuangan maupun manfaatnya bagi kelancaran tugas pemerintah dan pelayanan masyarakat.

Dengan menerapkan prinsip transparan, akuntabilitas, keterbukaan, bersaing, adil/tidak diskriminatif dalam proses pelaksanaan pengadaan barang/jasa akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap proses pengadaan barang/jasa, karena hasilnya dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat dari segi administrasi, teknis dan keuangan. Pengadaan barang dan jasa pemerintah yang dilaksakan secara transparansi, akuntabel, terbuka dan kompetitif juga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik.

Selain itu dengan menerapkan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa dapat mendorong pratek pengadaan barang/jasa yang baik dan menekan kebocoran anggaran. Untuk mewujudkan hal tersebut harus diatur tata cara pengadaan barang dan jasa, sehingga pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 yang mengatur tentang pengadaan barang/jasa Pemerintah.

Pelaksanaan e-procurement termasuk ke dalam salah satu program nasional untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Dimana nantinya melalui program tersebut seluruh instansi pemerintah baik pusat maupun daerah harus menerapkan e-procurement dalam pengadaan barang/jasa. Penerapan e-procurement ini disosialisasikan di seluruh daerah di Indonesia pada tahun 2009. Pemerintah mewajibkan seluruh instansi pemerintahan di Indonesia menggunakan e-procurement pada tahun 2011 tanpa terkecuali untuk proses pengadaan barang/jasa.

Berdasarkan uraian diatas, secara teoritik pengadaan barang/jasa secara elektronik lebih banyak keuntungannya dibanding secara manual baik oleh pengguna maupun penyedia barang/jasa. Namun demikian, seringkali instrumen
yang secara teori baik, dalam pelaksanaannya tidak demikian. Pada kenyataannya e-procurement masih memiliki kelemahan-kelemahan serta hambatan dalam pelaksanannya, seperti kurangnya dukungan finansial, terdapat beberapa instansi dan penyedia jasa lebih nyaman dengan sistem konvensional, kurangnya dukungan dari top manajemen, kurangnya skill dan pengetahuan tentang e-procurement serta jaminan keamanan sistem tersebut (Gunasekaran et all, 2009).

Berdasarkan data-data tersebut menunjukkan bahwa pelaksanaan e-procurement tidaklah mudah dan perlu dilaksanakan dengan baik yang idealnya sesuai dengan prinsip e-procurement, yaitu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, terbuka, bersaing dan adil/tidak diskriminatif. Kodar Udoyono (2012) mengatakan bahwa e-procurement dapat menjadi instrument dalam mengurangi tindakan KKN karena dilakukan secara terbuka, transparan sehingga meminimalisasi penyimpangan atau persekongkolan tender yang sering terjadi. Merupakan kajian sekarang apakah memang e-procurement sebagai bagian dari perwujudan proses penyelenggaraan pemerintahan dapat dijalankan sesuai dengan prinsip-prinsip pengadaan barang/jasa secara elektronik (e-procurement).

Silahkan Bagikan Artikel Ini Jika Bermanfaat
Avatar photo
Humas Vendor Indonesia

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 26 = 31