SWAKELOLA DAN PAJAK?

Oleh : Syahrul, S.Si

 

 

Pengadaan barang/jasa pemerintah menurut pasal 3 Perpres 54/2010 adalah Swakelola dan/atau pemilihan Penyedia Barang/Jasa. Diantara keduanya tentu ada perbedaan perlakuan hak dan kewajiban antara para pihak yang terlibat di dalamnya.

Swakelola PBJ adalah kegiatan Pengadaan Barang/Jasa dimana pekerjaannya direncanakan, dikerjakan dan/atau diawasi sendiri oleh K/L/PD sebagai penanggung jawab anggaran, instansi pemerintah lain dan/atau kelompok masyarakat.

Swakelola Tipe 1.

Dipilih apabila pekerjaan yang akan diswakelola merupakan tugas dan fungsi dari K/L/PD yang bersangkutan. Contoh; Dinas Binamarga melaksanakan swakelola pemeliharaan jalan, Kementrian Kesehatan menyelenggarakan penyuluhan bagi bidan desa, dsb.
Menurut Perpres No. 16 Tahun 2018 ini, pelaksanaan Swakelola tipe I dilakukan dengan ketentuan:
1. PA (Pengguna Anggara)/KPA (Kuasa Pengguna Anggaran dapat menggunakan pegawai Kementerian/Lembaga/ Perangkat Daerah lain dan/atau tenaga ahli;

  1. Penggunaan tenaga ahli tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari jumlah Tim Pelaksana; dan
  2.  Dalam hal dibutuhkan Pengadaan Barang/Jasa melalui Penyedia, dilaksanakan sesuai ketentuan dalam Peraturan Presiden ini

Swakelola Tipe 2.

Dipilih apabila K/L/PD memiliki pekerjaan yang bertugas sebagai penanggung jawab, namun secara keahlian/kompetensi teknis diberikan kepada pelaksana dalam hal ini institusi di luar K/L/PD tersebut. Contoh; Bappeda bekerjasama dengan BPS (Biro Pusat Statistik) untuk pekerjaan Kota Malang dalam Angka (BPS lebih ahli dalam masalah angka), Kajian pengembangan Wisata Agro di kota Malang dengan Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB lebih ahli tentang pertanian/agro dari pada dinas pertanian atau pariwisata), dsb.
Untuk pelaksanaan Swakelola tipe II dilakukan dengan ketentuan:
1. PA/ KPA melakukan kesepakatan kerja sama dengan Kementerian/Lembaga/Perangkat Daerah lain pelaksana Swakelola; dan

  1. PPK menandatangani Kontrak dengan Ketua Tim Pelaksana Swakelola sesuai dengan kesepakatan kerja sama sebagaimana.

Swakelola Tipe 3.

Tipe ketiga ini yang menjadi tambahan adalah Swakelola yang dilakukan oleh organisasi masyarakat seperti ICW, dll. Swakelola tipe 3 ini merupakan perluasan dari swakelola tipe 4. Adapun pelaksanaan Swakelola tipe III, menurut Perpres ini, dilakukan berdasarkan Kontrak PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) dengan pimpinan Ormas (Organisasi Kemasyarakatan).

Swakelola Tipe 4

Dipilih apabila dalam pekerjaannya memerlukan partisipasi langsung masyarakat atau untuk kepentingan langsung masyarakat dengan melibatkan masyarakat yang dianggap mampu melaksanakannya. Contoh: Perbaikan Saluran Air di desa, Pemeliharaa Jamban/MCK, dan pekerjaan sederhanalainnya.
Dan untuk pelaksanaan Swakelola tipe IV dilakukan berdasarkan Kontrak PPK dengan pimpinan Kelompok Masyarakat.Pertanyaan selanjutnya adalah pekerjaan pengadaan seperti apa yang dapat dilakukan dengan Swakelola?. Pelaksanaan swakelola dalam sebuah instansi dapat dilaksanakan apabila memenuhi salah satu jenis pekerjaan yang dapat dilakukan dengan cara Swakelola

Pajak Swakelola

Perjanjian Kerjasama mengandung pemahaman tanggung bersama atas hasil kerja. Hasil kerja ini bisa saja positif bisa juga negatif. Sehingga dalam perjanjian kerjasama pembagian hak dan kewajiban berdasarkan kesepakatan bersama untuk menyelesaikan. Tidak dikenal istilah sanksi denda dalam perjanjian kerjasama. Yang ada adalah tanggungjawab penyelesaian masalah secara tanggungbersama. Umumnya berupa berbagi hak dan kewajiban. Jikapun salah satu pihak melakukan kelalaian sehingga tidak tercapainya tujuan kerjasama maka penyelesaiannya bisa saja berupa musyawarah tanggung bersama. Sifat perjanjian kerjasama sangat cair tidak seperti perjanjian kerja.

Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diacu adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa Dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, pasal 4 ayat 1 bahwa Pajak Pertambahan Nilai dikenakan atas:
penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;

impor Barang Kena Pajak;

  1. penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha;
  2. pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  3. pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean;
  4. ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
  5. ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan
  6. ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

Huruf a dan c mengatur pengenaan PPN dari penyerahan barang/jasa kena pajak dengan titik berat oleh pengusaha. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor Barang melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa termasuk mengekspor jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar Daerah Pabean.

Karena instansi pemerintah dan kelompok masyarakat bukanlah pengusaha maka tidak termasuk subyek yang dikenakan PPN, meski juga menyerahkan barang/jasa kepada pemerintah.

Untuk Pajak Penghasilan atau PPh, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, adalah Pajak Penghasilan yang dikenakan terhadap Subjek Pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Untuk itu pelaksana swakelola baik itu perseorangan, badan atau badan usaha yang mendapatkan penghasilan dari kegiatan swakelola tetap dikenakan PPh sesuai ketentuan yang berlaku. Misal pajak perseorangan yaitu PPh 21 tetap dikenakan jika personil atau tenaga ahli mendapatkan gaji atau upah sesuai dengan batasan yang ditentukan.

Silahkan Bagikan Artikel Ini Jika Bermanfaat
Avatar photo
Humas Vendor Indonesia

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

+ 53 = 63