Penyuapan dalam pengadaan barang dan jasa di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah lama menjadi masalah yang serius. Meski berbagai regulasi dan lembaga pengawas telah dibentuk untuk memberantas praktik korupsi, penyuapan tetap menjadi salah satu modus paling marak dalam proses pengadaan di BUMN. Investigasi ini bertujuan untuk mengungkap alasan di balik terus berlangsungnya praktik suap, bagaimana suap dijalankan dalam pengadaan, dan mengapa upaya penegakan hukum belum mampu menuntaskan persoalan ini.
1. Struktur Pengadaan yang Rumit dan Birokratis
Salah satu alasan utama mengapa penyuapan masih marak adalah struktur pengadaan di BUMN yang cenderung rumit dan birokratis. Pengadaan barang dan jasa sering kali melibatkan banyak tahapan administratif dan berbagai tingkat keputusan. Kompleksitas ini menciptakan celah bagi para pelaku untuk memanfaatkan posisi mereka demi keuntungan pribadi.
Bagaimana birokrasi memicu penyuapan:
- Keterlibatan Banyak Pihak: Setiap proyek pengadaan di BUMN melibatkan beberapa pihak mulai dari penyusun anggaran, tim teknis, panitia lelang, hingga pengambil keputusan akhir. Dalam situasi ini, peluang untuk melakukan negosiasi atau permintaan suap oleh individu-individu yang memiliki kewenangan menjadi lebih besar.
- Proses yang Lambat: Sering kali, proses pengadaan di BUMN berjalan lambat karena harus melalui berbagai prosedur yang memakan waktu. Untuk mempercepat proses atau memastikan proyek tidak tertunda, beberapa kontraktor bersedia membayar suap agar mendapatkan kepastian dan menghindari birokrasi yang bertele-tele.
- Dokumentasi yang Kompleks: Proses dokumentasi yang rumit memaksa beberapa pihak mencari jalan pintas melalui penyuapan untuk memperlancar persetujuan kontrak.
2. Kolusi antara Pejabat dan Pihak Ketiga
Kolusi antara pejabat BUMN dan pihak ketiga (kontraktor atau vendor) sering kali menjadi landasan kuat bagi penyuapan. Dalam banyak kasus, pejabat pengadaan memiliki relasi dekat dengan kontraktor atau pemasok, sehingga terjadi kesepakatan di bawah meja untuk memenangkan tender atau mempercepat proses pencairan dana.
Modus kolusi:
- Persekongkolan dalam Penunjukan Pemenang: Pejabat yang terlibat dalam pengadaan bersekongkol dengan kontraktor tertentu untuk memastikan kemenangan dalam lelang. Sebagai imbalannya, kontraktor tersebut memberikan suap berupa uang atau fasilitas lainnya kepada pejabat BUMN.
- Pembagian Komisi: Setelah memenangkan tender, kontraktor memberikan sejumlah komisi kepada pejabat pengadaan sebagai bagian dari perjanjian awal. Komisi ini sering kali diambil dari mark-up harga atau dana proyek yang seharusnya digunakan untuk keperluan proyek.
- Penggunaan Pengaruh Jabatan: Pejabat yang memiliki pengaruh besar dalam pengambilan keputusan sering kali memanfaatkan jabatannya untuk memaksa kontraktor atau vendor memberikan suap dengan janji memenangkan tender atau mempercepat persetujuan proyek.
3. Kurangnya Transparansi dalam Proses Pengadaan
Transparansi yang minim dalam proses pengadaan di BUMN menciptakan iklim yang subur bagi penyuapan. Banyak proyek pengadaan tidak dilakukan dengan terbuka atau tidak diinformasikan secara jelas kepada publik, sehingga memberikan ruang bagi praktik-praktik tidak sehat.
Faktor-faktor yang mendorong kurangnya transparansi:
- Tender Tertutup: Dalam beberapa kasus, tender dilakukan secara tertutup dengan undangan khusus hanya kepada beberapa perusahaan tertentu. Proses ini rentan terhadap penyuapan karena tidak ada pengawasan eksternal yang ketat, dan keputusan sepenuhnya berada di tangan panitia pengadaan.
- Dokumen Pengadaan Tidak Dipublikasikan: Banyak BUMN tidak secara transparan mempublikasikan dokumen pengadaan mereka, seperti spesifikasi proyek, syarat-syarat teknis, atau hasil evaluasi penawaran. Hal ini memungkinkan para pelaku pengadaan untuk mengatur hasil lelang tanpa pengawasan yang memadai.
- Minimnya Sistem Lelang Elektronik yang Transparan: Meskipun beberapa BUMN sudah menerapkan sistem lelang elektronik (e-procurement), implementasinya sering kali masih minim dan tidak disertai dengan pengawasan ketat. Lelang yang dilakukan secara manual lebih rentan dimanipulasi melalui penyuapan.
4. Motif Ekonomi dan Keuntungan Cepat
Penyuapan dalam pengadaan BUMN sering kali terjadi karena adanya motif ekonomi yang kuat dari kedua belah pihak. Pejabat BUMN melihat peluang suap sebagai cara untuk mendapatkan keuntungan pribadi dalam waktu singkat, sementara kontraktor atau vendor melihat suap sebagai jalan cepat untuk memenangkan tender dan mengamankan proyek.
Faktor-faktor yang memicu motif ekonomi ini:
- Keinginan untuk Cepat Kaya: Beberapa pejabat BUMN memanfaatkan posisinya untuk memperkaya diri melalui penerimaan suap dari kontraktor. Mereka menyadari bahwa keputusan yang mereka buat memiliki nilai ekonomi tinggi, dan suap menjadi cara mudah untuk memonetisasi wewenang tersebut.
- Tekanan Persaingan Usaha: Kontraktor atau vendor yang menghadapi persaingan ketat sering kali merasa terpaksa memberikan suap agar bisa memenangkan proyek, terutama jika merasa bahwa pesaing lain juga melakukan hal yang sama.
- Proyek dengan Nilai Besar: Dalam proyek-proyek besar yang melibatkan anggaran miliaran rupiah, potensi keuntungan yang bisa diperoleh melalui penyuapan menjadi lebih besar. Pelaku kecurangan menganggap bahwa kerugian dari memberikan suap dapat ditutupi oleh keuntungan besar dari proyek yang dimenangkan.
5. Pengawasan yang Lemah dan Penegakan Hukum yang Tidak Efektif
Salah satu alasan utama mengapa penyuapan masih marak adalah lemahnya pengawasan terhadap proses pengadaan dan ketidakefektifan penegakan hukum. Meski sudah ada sejumlah peraturan yang ketat mengenai pengadaan di BUMN, pelaksanaannya di lapangan sering kali tidak efektif.
Kelemahan dalam pengawasan dan penegakan hukum:
- Kurangnya Audit Berkala: Pengawasan internal maupun eksternal terhadap proses pengadaan sering kali minim. Beberapa BUMN tidak melakukan audit secara berkala terhadap proyek pengadaan, sehingga praktik penyuapan sulit terdeteksi.
- Lemahnya Sanksi: Ketika kecurangan dan suap terungkap, sanksi yang dijatuhkan sering kali tidak sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan. Hukuman yang ringan atau hanya berupa teguran administratif tidak memberikan efek jera bagi para pelaku.
- Kolusi dengan Aparat Penegak Hukum: Dalam beberapa kasus, pelaku penyuapan berhasil lolos dari jerat hukum karena adanya kolusi dengan aparat penegak hukum atau pejabat terkait. Ini menciptakan budaya impunitas di mana pelaku tidak takut dengan konsekuensi hukum.
6. Budaya Korupsi yang Mengakar
Budaya korupsi yang telah mengakar di beberapa BUMN juga menjadi salah satu alasan mengapa penyuapan sulit diberantas. Banyak pejabat atau pihak yang terlibat dalam pengadaan merasa bahwa penyuapan adalah bagian dari “sistem” yang tidak mungkin diubah.
Bagaimana budaya ini terbentuk:
- Ketergantungan pada Suap untuk Mendapatkan Proyek: Kontraktor atau vendor merasa bahwa tanpa memberikan suap, peluang mereka untuk memenangkan proyek pengadaan sangat kecil. Budaya ini berlanjut karena pejabat pengadaan pun telah terbiasa dengan praktik menerima suap.
- Tekanan dari Atasan atau Lingkungan Kerja: Beberapa pejabat pengadaan di BUMN mungkin merasa terpaksa terlibat dalam penyuapan karena adanya tekanan dari atasan atau rekan kerja yang telah terbiasa melakukan praktik tersebut.
- Keengganan untuk Melawan: Individu yang berada di lingkungan yang sarat dengan korupsi sering kali merasa sulit untuk melawan sistem, karena takut dengan dampak yang mungkin mereka hadapi, seperti kehilangan pekerjaan atau kesempatan promosi.
Penutup
Penyuapan dalam pengadaan BUMN masih marak terjadi karena sejumlah faktor, termasuk struktur birokrasi yang rumit, kurangnya transparansi, kolusi, serta pengawasan yang lemah. Penyuapan ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap integritas BUMN dan pemerintah.
Untuk memberantas penyuapan, dibutuhkan reformasi mendasar dalam sistem pengadaan, termasuk penerapan sistem lelang elektronik yang lebih transparan, pengawasan yang ketat, audit berkala, dan penegakan hukum yang tegas. Selain itu, perubahan budaya kerja dan komitmen dari seluruh elemen BUMN untuk menolak praktik suap sangat penting agar tercipta lingkungan pengadaan yang bersih dan akuntabel.