Bisakah Negara Memiliki dan Menggunakan Tanah Adat? Begini Aturan Hukumnya!

Dalam beberapa kasus, status tanah adat atau ulayat memunculkan konflik terkait hak kepemilikannya. Padahal status tanah ulayat telah diatur dalam hukum. Lalu, sebenarnya apakah negara berhak mengambil alih tanah ulayat?

Sebelum masuk ke pembahasan utama mengenai hak negara atas tanah ulayat, apakah sudah mengetahui apa yang dimaksud dengan tanah ulayat?

Pada prinsipnya, istilah tanah ulayat atau tanah adat merujuk pada sebuah bidang tanah yang di dalamnya terdapat hak masyarakat adat.

Biasanya sebuah tanah disebut tanah adat, ketika sekelompok masyarakat adat telah menempati wilayah tersebut dalam waktu lama.

Selain sebagai tempat tinggal, wilayah tersebut menjadi identitas dan ikatan antara masyarakat dengan leluhur mereka.

Maka dari itu, keberadaannya diatur dalam norma hukum adat.

Karena terdapat perbedaan antara norma hukum adat dengan hukum formal, menyebabkan status tanah ulayat ini menjadi tidak jelas dan berujung konflik.

Pertanyaannya, bagaimana hukum di negara kita mengatur hak masyarakat adat dengan ketegasan hukum yang harus memenuhi rasa keadilan bagi semua rakyat?

Yuk, kita simak penjelasan di bawah ini!

Hukum Tanah Adat di Indonesia

hukum tentang hak atas tanah negara
sumber: Freepik.com/jcomp

Di Indonesia sendiri, sudah ada hukum yang mengatur mengenai tanah adat atau ulayat.

Pertama, hukum mengenai tanah ulayat tercantum dalam UUD 1945 Pasal 18B ayat (2).

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang,“.

Lebih lanjut, hak-hak masyarakat adat atas tanah adat diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Pada pasal 3 UUPA, disebutkan bahwa tanah ulayat diakui negara sepanjang keberadaannya tidak bertentangan dengan undang-undang yang lainnya.

Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi,“.

Tidak hanya undang-undang yang berlaku secara nasional, peraturan lebih rinci mengenai tanah adat diatur dalam peraturan daerah pada provinsi, kabupaten, atau kota masing-masing.

Sebagai contoh, di Kabupaten Ciamis, terdapat Perda Nomor 15 tahun 2016 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kampung Kuta.

Kemudian di Provinsi Kalimantan Timur, terdapat Perda Nomor 1 tahun 2015 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat di Provinsi Kalimantan Timur.

Dengan begitu, peraturan mengenai penetapan status dan hak tanah adat di setiap daerah bisa berbeda-beda.

Negara Bisa Memiliki Tanah Adat

Sebenarnya, negara mengakui keberadaan tanah ulayat di mana pun itu.

Namun, negara juga berhak mengambil alih hak kepemilikan tanah ulayat dalam kondisi tertentu.

Berikut adalah dua kondisi yang memungkinkan negara mengambil alih hak kepemilikan tanah ulayat.

1. Bertentangan dengan Kepentingan Nasional

keberadaan tanah adat tidak boleh bertentangan dengan kepentingan nasional
sumber: presidenri.go.id

Mengacu pada Pasal 3 UUPA, disebutkan bahwa tanah ulayat akan tetap diakui oleh negara selama keberadaannya tidak melanggar undang-undang dan kepentingan nasional.

Jika keberadaan tanah ulayat bertentangan dengan kepentingan nasional, hak atas tanah tersebut bisa diambil alih oleh negara.

Lalu, apa yang terjadi pada masyarakat adat jika tanahnya diambil alih oleh negara?

Jika ini terjadi, negara akan memberikan ganti rugi dengan cara melakukan relokasi ke wilayah lain.

Namun, untuk mendapat ganti rugi tersebut, keberadaan masyarakat adat haruslah telah mendapat pengakuan dari bupati atau wali kota setempat.

Pertanyaannya, bagaimana caranya sebuah masyarakat adat yang telah meninggali sebuah wilayah cukup lama bisa diakui oleh bupati/wali kota.

Dalam Permendagri nomor 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Pada Pasal 4 permen ini, dijelaskan mengenai tahapan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.

Berikut adalah tahapannya:

  • Identifikasi masyarakat hukum adat dengan mencermati beberapa hal, yaitu:
    • Sejarah masyarakat hukum adat.
    • Wilayah adat.
    • Hukum adat.
    • Harta kekayaan dan/atau benda-benda adat.
    • Kelembagaan atau sistem pemerintah adat.
  • Verifikasi dan validasi Masyarakat Hukum Adat.
  • Penetapan Masyarakat Hukum Adat.

2. Tanah Tidak Bertuan

ilustrasi tanah tidak bertuan
sumber: Freepik.com/wirestock

Saat ini banyak tanah yang tidak jelas siapa pemiliknya dan dibiarkan terbengkalai begitu saja.

Hal ini bisa terjadi ketika masyarakat adat yang sebelumnya menempati wilayah tersebut sudah tidak ada karena berbagai hal, semisal karena masyarakat adat sudah bermigrasi.

Dengan begitu, meski memiliki sejarah sebagai tanah ulayat, tanah tersebut kini sudah tidak bertuan.

Jika tanah sebuah wilayah tidak bertuan, negara pun bisa mengambil alih hak kepemilikan tanah tersebut.

Tanah tersebut bisa dimanfaatkan atau diperjualbelikan demi kebutuhan nasional.

***

Itulah seluk beluk mengenai tanah ulayat dan bagaimana negara bisa mengambil alih hak kepemilikannya.

Semoga artikel ini bermanfaat untuk kamu ya!

Silahkan Bagikan Artikel Ini Jika Bermanfaat
Avatar photo
Humas Vendor Indonesia

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

45 + = 48